The World’s End (2013)

Read Time:3 Minute, 57 Second

The World’s End–film penutup trilogi Cornetto milik sutradara Edgar Wright dan aktor Simon Pegg ini memang–honestly–berbeda dengan kedua film pendahulunya. Tapi itu memang bukan masalah; lagipula, tim sutradara lama dan cast lama dengan formula lama bukanlah cara yang menarik untuk menutup suatu trilogi.

Jika di Shaun of the Dead, Wright mengumpankan Pegg dan Frost pada para zombie di Crouch End, dan di Hot Fuzz, keduanya dijadikan polisi di Somerset; kini Wright kembali mengundang keduanya bersama tiga orang teman mereka untuk mengadakan reuni di Newton Haven–dalam sebuah komedi sci-fi tentang akhir dunia. Untuk mengikuti dua film pendahulunya jelas bukan hal yang mudah bahkan untuk kreatornya sendiri. Namun, The World’s End sungguh memenuhi ekspektasi (setidaknya bagi saya) karena keberaniannya untuk tidak mengikuti pendahulunya dan meninggalkan tendensi untuk kompilasi terapi film sebelumnya. Sebuah nilai plus untuk melengkapi premis serta deretan dream team-nya.

Dimulai dengan opening sequence yang bersemangat–menampilkan Gary King (karakter Simon Pegg) muda bersama teman gangnya: Andy Knightley (Nick Frost), Oliver Chamberlain (Martin Freeman), Steven Prince (Paddy Considine), dan Peter Page (Eddie Marsan) dalam sebuah pub crawl ke 12 pub di Newton Haven yang rencananya akan berakhir di pub bernama The World’s End. Sayangnya, karena beberapa hal, odyssey mereka ini harus terhenti dan tertunda selama 20 tahun. Setelah tahun berlalu, Gary masih berambisi untuk menyelesaikannya, namun kini dia harus berhadapan dengan isu kedewasaan “mantan” anggotanya. Kurang lebih sepertiga awal film akan banyak bercerita tentang perjuangan kocak Gary meyakinkan rekan-rekannya untuk kembali ke kampung halaman mereka untuk menyelesaikan apa yang mereka telah mulai. Memang terasa sangat lambat pada awalnya, namun guyonannya masih segar dengan beberapa percakapan konyol a la Pegg (e.g., Andy berkata, “I haven’t had a drink (=mabuk) for sixteen years Gary,” dan Gary dengan santai menjawab: “You must be thirsty then.” Konyol!). Meskipun terkesan membosankan dan seperti replika Shaolin Soccer, namun karakter Pegg sungguh terasa di sini–simpatik.

Well, jika menonton tanpa clue atau spoiler tentang film ini, paruh awal film ini akan sedikit terasa seperti film old boys yang nakal–yang mengingatkan kita akan sosok Leslie Nielsen; apalagi setelah kemunculan karakter Sam (Rosamund Pike), cinta masa lalu Gary sekaligus adik Oliver. Sementara, penonton yang sudah tahu premis film ini akan sedikit diuji kesabarannya dengan aksi-aksi sok hustle pria-pria paruh baya melalui pub demi pub. Namun, setelah separuh film, Wright seolah segera mengingatkan penonton akan film ini yang sebenarnya–sebuah konspirasi akhir jaman dengan twist yang kasar dengan balutan sci-fi yang kental. Namun jangan harap The World’s End akan terasa seperti War of the World atau Signs dengan sub-genre alien invasion-nya yang overrated, The World’s End justru menampilkan suguhan perkelahian melee dengan intensitas yang dahsyat ditambah dengan alien a la manekin-manekin pecah belah yang berdarah warna-warni yang menjadi tontonan utama. Selagi tabir twist demi twist terbuka, karakter Andy milik Frost mulai mendapat spotlight tersendiri, ditambah dengan aksi kocak Pegg dalam menghadapi musuh yang tak terduga ini. Dengan ancaman apokalips serta referensi film-film alien invasion yang sudah-sudah, The World’s End benar-benar membolak-balik genre ini (seperti Wright membolak-balik genre zombie dan bad cops di film pendahulunya).

Sejujurnya, tidak ada yang baru dengan kombinasi Wright-Pegg-Frost di film ini: Wright masih sutradaranya, Pegg pemeran utama, dan Frost sidekick-nya. Yang menarik justru kekacauan dan perkelahian di film ini, seolah belajar banyak dari Scott Piglrim, film Wright sebelumnya, pertarungan yang sedikit absurd kembali dihadirkan di sini–serta peran masing-masing dalam perkelahian yang membuat ngilu ini. Yang spesial lagi juga adalah penampilan trio Inggris, Freeman-Considine-Marsan yang mencoba menjadi pria tua yang “menyebalkan”. Cara mereka menampilkan kedewasaan para tokoh dewasa yang membosankan namun mengundang misteri sangat mengangkat peran Pegg dalam menampilkan sosok Gary King yang nampaknya bermasalah dengan “usianya.” Satu lagi peran yang menarik justru adalah peran Pierce Brosnan yang meskipun hanya kecil dan “mencoba melucu” namun tetap terlihat kaku dan manly–cukup atraktif. Hanya saja, kekuatan penokohan pada pria-pria ini tidak sebanding dengan karakter wanitanya; peran Rosamund Pike nyaris terasa hambar, ditambah lagi dengan datang dan perginya yang sesuka hati. Seperti meminum bir di pub ke sembilan, datangnya tokoh Sam-nya Pike sungguh terasa hambar karena kita terlanjur mabuk.

In overall, narasi yang lambat ditambah dengan twist yang terlalu besar dan terlalu mengejutkan serta ending yang ambigu mungkin akan sedikit susah diterima. Namun, keberaniannya untuk tidak sekedar menampilkan kompilasi greatest hits Wright-Pegg-Frost dan mengambil jalur yang sedikit berbeda dari pendahulunya adalah hal yang menurut saya membuat The World’s End adalah penutup yang pas untuk trilogi Cornetto ini.

TITLE: The World’s End

GENRE: Comedy | Action | Sci-Fi

DIRECTOR: Edgar Wright

WRITER: Edgar Wright, Simon Pegg

CASTS: Simon Pegg, Nick Frost, Pierce Brosnan, Rosamund Pike, Martin Freeman, Paddy Considine, Eddie Marsan

RATING: 

6 responses to “The World’s End (2013)”

  1. joegievano Avatar
    joegievano

    endingnya agak WTF??! filmnya cukup solid cuman bagi saya akting simon pegg yg trying too hard to be an asshole jadi bikin film sedikit anti climax di akhir cerita. in the end u dont really give a shit about his character’s journey though.

    1. Paskalis Damar AK Avatar
      Paskalis Damar AK

      sedikit gak nyambung sama kelakuan dia sih endingnya Simon Pegg, tapi baru di film ini bisa nikmatin guyonan verbalnya dia yang gamblang bgt :p

  2. 2013: Best of All. | sinekdoks

    […] The World’s End […]

  3. Tri Fajar Avatar
    Tri Fajar

    Emang benar2 diuji buat nungguin twist invasinya, karena berasa lucunya baru ada setelah mereka sadar ada invasi, sebelumnya pas jelasin golden mile masih terasa hambar, tapi setelah sadar ada invasi filmnya jadi kocak banget, gimana mereka ngomong hal simpel jadi rumit, dagelan gaya british.

    1. Paskalis Damar AK Avatar
      Paskalis Damar AK

      iya, komedinya mereka verbal bgt

  4. Tri Fajar Avatar
    Tri Fajar

    Kalo tentang ending, menurutku sangat filosofis, intinya apalah arti kemajuan bila sesuatu yg paling berharga milik kita direnggut, yakni kebebasan atau nyawa kita karena kita dijadikan pupuk (hehehe), dan yg paling penting adalah gak ada gunanya debat ama orang mabuk.
    Dan Gary King, dia tetap terjebak ama masa lalunya ber-Golden Mile.
    Kan dah diperlihatkan dari awal kalo si Gary ini gak mau move-on, mobilnya, tape player, dandanannya, benar2 terjebak di masa lalu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!