The Hunger Games: Catching Fire (2013)

Read Time:4 Minute, 24 Second

Singkat saja, ketika instalasi pertama The Hunger Games memperoleh kesuksesan komersial yang luar biasa, saya berpikir bahwa kesuksesan itu semata hanya karena kemampuan THG memberikan sesuatu yang tidak bisa Twilight Saga hadirkan, yaitu fokus. Ada perjuangan di sana–dan bukannya romance yang mendominasi plotnya. The 74th Hunger Games (untuk pertama kalinya) menghadirkan dua pemenang dari Distrik 12 dan menyulut api bagi sang presiden tiran, Snow. Kini, setelah pendapatannya yang hampir 9 kali lipat biaya produksinya dan Oscar Jennifer Lawrence, instalasi kedua THG-nya Suzanne Collins kembali ke layar.

THG yang pertama, menurut saya, menjadi sangat mengejutkan tidak lepas dari kemampuan Gary Ross mengkonversi plot dalam novelnya (yang mau tidak mau harus mau disamakan dengan Battle Royale) menjadi sebuah perjuangan anti tiran yang sedikit mendobrak genre Young Adult (YA). Ditambah–simbolisasi unik dalam penggambaran masa depan dystopia yang tercermin dalam fashion dan mix-and-match teknologinya. Ketika dilanjutkan dalam Catching Fire, sedikit (banyak) perubahan dilakukan, termasuk dengan menyerahkan kursi sutradara pada Francis Lawrence, sutradara I Am Legend, yang jelas cukup mengkhawatirkan. Beruntung tim di belakangnya cukup menjanjikan; Simon Beaufoy dari tim Danny Boyle (Slumdog Millionaire dan 127 Hours) dan Michael Arndt (yang mengubah Toy Story ke ranah yang lebih dewasa) sedikit memberi terang.

Mengikuti cerita THG pertama, Catching Fire menceritakan kisah Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence) dan Peeta Mellark (Josh Hutcherson) pasca kemenangan mereka yang tanpa mereka sadari telah menyulut perlawanan di seluruh penjuru Panem. Presiden Coriolanus Snow (Donald Sutherland) yang mulai kewalahan menghadapi rakyat yang menemukan harapan melalui sosok Katniss menunjuk head gamemaker baru Plutarch Heavensbee (yang diperankan dengan sangat mengesankan oleh Peter Seymour Hoffman) untuk merancang The 75th Hunger Games sekaligus The 3rd Quarter Quell yang mempertemukan para pemenang dari THG yang sebelumnya. Kemudian “battle royale” dimulai lagi kini dengan intrik baru dengan arena yang baru serta karakter-karakter baru yang cukup menarik. Tidak ada yang baru memang, tapi Catching Fire telah memulai sesuatu yang lebih emosional dengan pace yang sangat cepat.

Catching Fire, tidak seperti film adaptasi YA lainnya, memang menampilkan kisah yang padat dalam pace yang cepat serta kisah yang lebih emosional (di berbagai sektor); beberapa karakter lama sudah lebih dimanusiakan dan karakter baru juga ditambahkan dan diperkenalkan dengan efektif–terutama tokoh Finnick (Sam Clafin) dan Johanna (Jena Malone). Hanya saja, secara umum, Catching Fire belum bisa menyamai efektif-nya penyutradaraan Gary Ross di seri pertamanya. Namun, bukan berarti penyutradaraan Francis Lawrence buruk–hanya kurang memiliki sentuhan pribadi saja. Bagus memang untuk menjaga tone cerita, namun sedikit disayangkan saja, estetikanya tidak berkembang. Sedikit beruntung skrip arahan Arndt dan Beaufoy memiliki kekuatan karena “mengalahnya” untuk membangun kerangka cerita Mockingjay yang akan dibagi dalam 2 part–memasukkan bagian-bagian tabu dan memberi porsi emosional yang pas serta banyak ciuman bagi Katniss dan Peeta, hanya untuk memperhalus transisi konflik yang akan ditimbulkannya di Mockingjay.

Lawrence sebagai Katniss memang memegang peranan penting dalam Catching Fire, bukan hanya karena dia lah protagonisnya, tapi lebih karena perannya yang begitu vivid. Rapuhnya sosok Katniss dalam sosok tangguhnya, serta kebingungannya yang ditampilkan Lawrence dengan sangat provokatif di layar adalah pakem utama epic ini. Namun, yang paling disorot dengan tajam pastinya adalah cinta segitiga antara Katniss, Peeta, dan Gale Hawthorne (Liam Hemsworth)–formula paling berbahaya di ranah YA (thanks to Twilight). Alih-alih mengesampingkannya, Catching Fire justru bermain-main lebih dalam affair ini–diberi waktu yang agak lama untuk berkembang, namun sampai detik terakhirnya, intrik ini tetaplah terjaga, sehingga bukannya mendominasi kisahnya. Sekali lagi, kredit diberikan pada Lawrence yang mampu menampilkan simpatinya pada Peeta tanpa harus menjauhkan Gale dengan “menjaga harga diri”-nya; sebuah pembelaan a la feminism yang memperdalam konflik dalam penceritaan film ini sekaligus membedakannya dari Twilight. Selain intrik romance itu, konflik “diagonal” antara Katniss atas nama rakyat dengan Presiden Snow juga makin meruncing dan menemukan berbagai cara untuk dimanifestasikan. Ada “attraction” yang unik antara Katniss dan presiden yang ditampilkan dari sudut mata Sutherland (dan ditangkap Lawrence)–tidak terlalu nampak, namun ada. All thanks to Suzanne Collins atas kesadarannya dalam menulis novel (yang bisa ditampilkan dalam film).

Dengan materi yang sudah lengkap ditambah pemenang Oscar, nampaknya pemilihan casts yang cermat juga penting. Woody Harrelson, Elizabeth Banks, Stanley Tucci, Lenny Kravitz, dan Willow Shields sudah mematenkan diri ke dalam karakter dan kisah besar THG; sementara, Sam Clafin dan Jena Malone menghidupkan Catching Fire; tapi yang paling saya suka adalah Philip Seymour Hoffman dengan Plutarch-nya yang cunningcast paling menonjol di instalasi kedua ini. Nampaknya “paten” karakter pada cast-nya seperti di Harry Potter akan terjadi lagi di dunia THG (tanpa audisi besar-besaran, namun ditambah bintang Oscar).

Catching Fire memang menghibur, tapi keterikatannya pada instalasi pertamanya jelas sangat terasa. Meskipun dengan twist-nya yang ditata (meskipun kurang rapi), segala kekurangan masih bisa diterima (terutama lambat panasnya film ini di awal dan beberapa shot close-up yang kurang penting). Sekarang, saatnya menunggu arti tatapan “breaking-the-fourth-wall“-nya Katniss di akhir film ini di dua bagian Mockingjay—Part 1 (2014) dan Part 2 (2015) yang konfliknya sudah ditata di instalasi ini.

TITLE: The Hunger Games: Catching Fire

GENRE: Action, Adventure, Sci-Fi, Young Adult, Adaptation

DIRECTOR: Francis Lawrence

WRITERS: Simon Beaufoy, Michael Arndt (Based on Suzzane Collins’)

CASTS: Jennifer Lawrence, Liam Hemsworth, Josh Hutcherson, Donald Sutherland, Woody Harrelson, Elizabeth Banks, Stanley Tucci, Lenny Kravits, Sam Clafin, Jena Maloney, Willow Shields, Philip Seymour Hoffman

RATING:

7 responses

  1. Yah, sequel mungkin bisa jadi excuse yang tepat biar hunger game pertama ngga dibilang mirip Battle Royale-nya Jepang bro..haha

    1. hahaha sebenarnya tingkat kemiripannya cukup tinggi, cuman bawaan ke arah revolusi inilah yg gak ada di battle royale hehe

  2. trifajar Avatar

    Di sequel Battle Royale ada kok revolusinya, kalo dulu murid satu kelas disuruh saling bunuh, di Battle Royale 2 mereka disuruh bunuh pemimpin revolusi yg mau menghapus Battle Royale.
    Film Catching Fire ini rada ngebosenin karena aku dah muak ama kelakuan orang2 di Capitol, pingin langsung nonton bagian Mockingbird-nya biar bisa liat pembalasan orang2 distrik ke Capitol, Twist di ending bikin lega ternyata Katniss tidak sendirian, yeah…!!!

    1. iya di Battle Royale 2 kan malah lawan teroris yang pemenang BR sebelumnya hehe

  3. […] the immense “breaking the fourth wall” cliffhanger in the end of Catching Fire, the penultimate chapter of The Hunger Games series, Mockingjay Pt. 1 gets its ground. While the […]

  4. […] compared to The Hunger Games‘ second installment, Catching Fire—which becomes my personal favorite of the series, Divergent‘s Insurgent was the losing […]

  5. […] although it doesn’t quite live up the madness of the first installment. I personally love Catching Fire as the best installment, then The Hunger Games; Mockingjay Part 2 is only slightly  better than Mockingjay Part […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!