The Hobbit: The Desolation of Smaug (2013)

Read Time:6 Minute, 46 Second

Peter Jackson telah kembali di akhir tahun 2013 ini–masih dengan petualangan ketigabelas dwarf dan seorang hobbit dalam film tengahan yang lebih berani dan cepat dari trilogi The Hobbit karya J.R.R. Tolkien. Meskipun tak semegah dan sekelam tengahan trilogi LOTR, The Two Towers, The Desolation of Smaug tetap berhasil menunjukkan kualitasnya dalam mengeskalasi keseluruhan kisah The Hobbit dengan caranya sendiri.

Dalam The Desolation of Smaug (TDOS), hobbit penuh keberuntungan, Bilbo Baggins (Martin Freeman) tidak hanya bertemu tiga belas dwarf; ia juga bertemu elf hutan, laba-laba raksasa, dan sang naga legendaris. Sementara itu, kisahnya sendiri berjalan dengan sangat cepat melalui kilas balik pertemuan Gandalf (Ian “Magneto” McKellen) dengan pimpinan ketigabelas dwarf dari Erebor, Thorin Oakenshield (Richard Armitage) dan dilanjutkan dengan kelanjutan perjalanan para tokoh ini ke Lonely Mountain untuk mendapatkan Arkenstone dan merebut kembali tahta Thorin. Seperti di prekuelnya, dalam perjalanan kali ini, kawanan ini (yang selalu dibandingkan dengan para fellowship di LOTR) harus melalui banyak rintangan dan bertemu banyak karakter-karakter baru yang penting.

Dimulai dari kejar-kejaran dengan pasukan orc pimpinan Azog the Defiler, pertemuan dengan Beorn sang skin-changer (Mikael Persbrandt), hingga memasuki Mirkwood–rumah para elf hutan pimpinan Thranduil (Lee Pace), TDOS tetap lucu meskipun frekuensi ancaman mulai lebih banyak daripada prekuelnya (lihat the barrel scene yang paling ikonis di film ini). TDOS mulai menarik dengan ditampilkannya sisi lain Bilbo dengan cincin ajaibnya dalam menghadapi laba-laba raksasa (nostalgia kecil dengan kerabat mereka di LOTR) dan menyelamatkan para dwarf yang ditawan Thranduil; semua dilakukannya saat rombongan ini harus berpisah dengan Gandalf yang harus bertemu Radagast (Sylvester McCoy) untuk memeriksa keanehan di Dol Guldur yang disebabkan Necromancer (disuarakan Benedict Cumberbatch), inkarnasi Sauron pra-LOTR. Sekuel ini juga makin menarik dengan aksi-aksi duo karakter yang konon tidak ada di bukunya namun dihadirkan di film ini, yaitu Legolas (Orlando Bloom) muda, putra Thranduil dan Tauriel (Evangeline Lily) yang memang diciptakan khusus untuk film ini, serta tokoh sentral Bard the Bowman (Luke Evans) dan family issue-nya dengan Smaug. Semua kisah itu mengarah pada pertemuan pertama kalinya rombongan ini dengan Smaug (juga disuarakan oleh Benedict Cumberbatch) yang tidak seperti mereka harapkan.

Sebuah ironi memang–menjabarkan buku yang tebalnya konon hanya seperenam seluruh buku LOTR menjadi trilogi yang sepanjang LOTR, namun dengan pace yang lebih cepat. TDOS sendiri berdurasi hampir 3 jam namun sama sekali tidak membosankan. Skrip olahan kuartet PJ, Fran Walsh, Philippa Boyens, dan (yang mengejutkan) Guillermo del Toro memiliki treatments yang sangat rugi untuk dilewatkan, yaitu dengan tanpa ragu memperluas universe Tolkien tanpa menunda ceritanya. Menghadirkan kembali tokoh Legolas (yang lebih muda, lebih naif, dan lebih careless) hanya karena hubungan ayah-anaknya dengan Thranduil baru awalnya; paling mengejutkan tentu saja adalah penciptaan tokoh Tauriel, a reckless she-elf yang mencuri perhatian. Bagaimana tidak? Alih-alih menjadi tempelan semata, Tauriel justru terlibat romansa dengan Kili (Aidan Turner), salah satu dwarf, dan terlibat dalam kisah sampai akhir film. Pada awalnya, gimmick romansa ini sedikit mengganggu dan memperlambat pace, namun ternyata formula ini bekerja untuk menyambung kisah di TDOS sampai kejadian di Lake-Town, kota karakter Luke Evans, Bard.

Sejauh ini, banyak yang membandingkan TDOS dengan The Two Towers–baik dari segi aksi dan “besarnya” cerita ini. TDOS dinilai lebih lunak dan lebih berskala kecil sebagai film tengahan; namun, sebenarnya bukan itu masalahnya. PJ menggunakan pendekatan yang berbeda untuk film tengahan ini. Sederhana: dengan garis besar plot yang mirip trilogi LOTR, mengulangi formula yang dipakai LOTR tentu saja bisa menjadi blunder–lagipula tone The Hobbit tidaklah sekelam LOTR, dan justru lebih bernada komedi. Beruntungnya, TDOS telah menaikkan level aksi dan ketegangannya jika dibanding An Unexpected Journey. Selain itu, TDOS juga mengisi gaps dari sejarah Middle-Earth dan menjelaskannya, yang bagi purist seperti saya, segera membawa nostalgia dengan trilogi LOTR. Referensi-referensi langsung tentang sejarah Middle-Earth yang berhubungan dengan LOTR tentu saja selalu berhasil membuat penonton merasa pintar. Pada akhirnya, membandingkannya dengan The Two Towers menjadi tidak relevan–karena Middle-Earth di TDOS belumlah sepelik LOTR dan urgency yang berbeda yang ditawarkan masing-masing seri ini.

Bagi purist seperti saya, hal paling menyenangkan dari TDOS adalah bagaimana arahan PJ membawa saya larut dalam kisahnya sampai-sampai saya lupa hal yang jelas akan terjadi pada akhirnya. Hal ini mengingatkan saya akan arahan James Cameron di Titanic atau David Fincher di Zodiac–penonton dibuat lupa fakta bahwa Bilbo akan bertahan sampai tua dengan menyimpan cincinnya sampai di LOTR, atau lupa bahwa Gandalf masih akan ada di LOTR, atau malah lupa bahwa Sauron akan menang sampai di LOTR (Saya sempat lupa bahwa Titanic akan tenggelam dan pembunuh Zodiac tak pernah ditemukan). Sampai sejauh ini, di bagian inilah TDOS lebih baik daripada adaptasi Tolkien mana pun, IMO. Dengan kendaraan pace yang sangat cepat (terutama di bagian awal film sebelum mencapai Lake-Town), petualangan Bilbo terasa seperti bisa berakhir di mana saja; namun, perkembangan karakter Bilbo di film inilah yang membuat saya lupa fakta di akhir kisahnya. Bilbo terlihat lebih antusias dan berani di film ini–cincin legendarisnya berhasil menjadi katalis yang efektif untuk perkembangan karakternya; hingga di kuartal akhir film, saya tak terkejut bila akhirnya ia mampu berhadapan dengan Smaug dengan lebih berani.

Terlepas dari segala hal yang saya sampaikan di atas, kekuatan utama TDOS paling universal adalah ensemble casts-nya yang tidak hanya “besar”, namun juga mengesankan. Karakter-karakter dari film pertamanya bermain sama cemerlangnya, sementara karakter-karakter baru (atau yang baru dimunculkan) juga diperankan dengan besar. Dari rombongan, Freeman masih tahu benar cara memerankan Bilbo dan Armitage makin prima saja dalam menampilkan sisi “dwarf” Thorin. Di sisi elf, meskipun sudah hiatus hampir 10 tahun saat produksinya, Bloom masih hafal karakter Legolas (yang tak bertambah muda meskipun puluhan tahun lebih muda); perannya berhasil menunjang penampilan Lee Pace sebagai elvenking Thranduil yang oportunis. Lily memerankan karakter tanpa referensi Tauriel sehingga mampu memberikan porsi yang lebih matang bagi pemeran Kili, Aidan Turner. Karakter Bard berhasil tampil sebagai tokoh manusia yang “hidup”, peran Luke Evans di sini mampu menghidupkan tokoh protagonis manusia yang mengingatkan saya akan tokoh Aragorn di LOTR. Yang paling tidak mengecewakan, tentu saja Cumberbatch, karena ia tidak hanya mengisi suara Smaug dan Necromancer tapi juga lewat CGI menampilkan bengisnya Smaug sama seperti peran-peran antagonisnya terdahulu. Deretan nama besar memang membuktikan kualitas TDOS.

Cukup mengecewakan memang, hobi baru PJ untuk memakai CGI daripada pratical effect jadi terasa mengganggu. Entah kenapa, semua wujud CGI di TDOS, kecuali dalam menampilkan Smaug, terasa kurang maksimal; bahkan terasa tidak lebih mengena daripada di trilogi LOTR. Yang paling terasa tentu saja tampilan orc di sini, CGI tidak membuat para orc lebih menjijikan dan mengerikan daripada tampilan mereka LOTR. Azog dan putranya, Bolg, yang memimpin para orc memang terlihat besar, tapi kurang filth. Secara teknis, hal inilah minusnya TDOS menurut saya.

Yang cukup mengecewakan lagi, IMO, adalah akhir film ini yang terlalu tanggung–baik memang memakai konsep save the best for the last, tapi menumpuk semua di akhir saya rasa tidak cukup bijak. Masalah Legolas dengan Bolg belum diselesaikan, Gandalf dengan Azog dan “necromancer” manifestasi Sauron juga sama, ditambah nasib Bard serta akhir kisah Smaug–semua itu menumpuk membebani film terakhir nanti dengan tumpukan resolusi (yang nampaknya sudah mulai terlihat akhirnya, seperti takdir Bard dengan Smaug). Treatment ini membuat TDOS berakhir dengan sangat terputus. Namun, saya rasa hanya itu saja kekurangan TDOS yang saya rasakan–yang tentu saja sudah tertutupi oleh kisahnya sendiri dan ekspektasi besar akan sekuel penutup There and Back Again.

Finally, TDOS tetaplah berada di jalur yang tepat untuk adaptasi karya Tolkien. Selain mulai terasa menegangkan, perpaduan aksi dan guyonan situasi yang pas menjadikan TDOS lebih menghibur daripada prekuelnya. Namun, sebagai film tengahan, TDOS masih meninggalkan banyak PR bagi film penutup nantinya. Berharap saja, semoga PJ mempunyai pendekatan yang lebih menarik untuk menutup trilogi ini kelak di There and Back Again yang tidak hanya mengejutkan para purist namun juga mereka yang sudah khatam dengan Tolkien Universe.

TITLE: The Hobbit: The Desolation of Smaug

GENRE: Adventure, Fantasy, Adaptation

DIRECTOR: Peter Jackson

WRITERS: Peter Jackson, Philippa Boyens, Fran Walsh, Guillermo del Toro, J. R. Tolkien (book)

CASTS: Martin Freeman, Richard Armitage, Ian McKellen, Benedict Cumberbatch, Orlando Bloom, Evangeline Lily, Luke Evans, Lee Pace, Mikael Persbrandt, Aidan Turner, Sylvester McCoy

RATING:

2 responses to “The Hobbit: The Desolation of Smaug (2013)”

  1. 2013: Best of All. | sinekdoks

    […] The Hobbit: The Desolation of Smaug […]

  2. The Hobbit: The Battle of The Five Armies (2014) | sinekdoks

    […] following the biggest cliffhanger in the end of The Desolation of Smaug, The Battle of Five Armies kicks off with Smaug (Benedict Cumberbatch) soars through the sky and […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!