Only God Forgives (2013)

Read Time:5 Minute, 22 Second

Only God Forgives, apapun yang terjadi, telah mantap menjadi salah satu film paling divisive di tahun 2013. Bukan karena Ryan Gosling yang kembali tampil diam dalam arahan Nicholas Winding Refn–yang menandai kolaborasi kedua mereka setelah Drive (2011), tapi karena kontroversi yang dihadirkannya dan ekspektasi-ekspektasi yang diputarbalikannya.

Only God Forgives menampilkan dunia gelap Bangkok yang divisualisasikan dengan gaya Refn: didominasi warna-warni neon ditambah gaya modern-retro yang stylist. Namun, banyak orang yang sama sekali tidak menyukainya, dengan anggapan bahwa film ini tak berjiwa, minim narasi plot, misoginis, dan tentunya terlalu menonjolkan kekerasan yang menyentuh batas “kelayakan.” Bukannya para kritikus ini terlalu melebihkan penilaian negatif mereka; namun sejujurnya, dengan melucuti semua gimmick visualisasi gaya neon Refn dan scoring musik trance Cliff Martinez, Only God Forgives memang terasa hambar–tanpa narasi plot yang pasti dan berkesan kelas B. Terlebih, jika dibandingkan dengan Drive, jelas film ini tidak seksi sama sekali dan lebih menuju ke ranah ultra-violence.

Namun, sejujurnya Only God Forgives telah mencoba jujur pada penontonnya bahwa ia memang tidak minta dicintai ketika di awal kredit tertera bahwa film ini didedikasikan pada si petapa surrealis Alejandro Jodorowsky. Memang jelas pengaruh Jodorowsky di surrealis penuh gaya Refn ini–meskipun di beberapa bagian, entah dari mana, saya rasa pengaruh David Lynch juga terasa. Saat itu pula mata saya terbuka bahwa Only God Forgives adalah film meditatif tentang pencarian Tuhan–dan saat saya menyaksikannya sekali lagi, semuanya terasa jelas bahwa kosongnya karakter di film ini beralasan.

Sejak awal, film ini memang didominasi oleh simbolisme-simbolisme penebusan dosa dan indulgensinya. Tokoh utama Julian (Ryan Gosling) muncul sebagai ekspatriat pendiam yang memiliki klub Thai-boxing sekaligus menjadi pengedar narkoba berpenghasilan besar, kita sudah diberi tahu bahwa ada yang salah dengannya–ada dosa besar yang ia sesali dalam kesunyiannya. Pada saat konflik tersulut yaitu ketika Billy (Tom Burke), kakak Julian yang pedofil memperkosa dan menyiksa pelacur 16 tahun sampai mati, kita dihadapkan pada sisi lain dari penebusan dosa. Sisi lain itu adalah tokoh Chang (Vithaya Pansringarm), detektif berjulukan Angel of Vengeance yang menjunjung tinggi prinsip ‘eye for an eye‘, dengan pedang tajam dan hobi karaokenya. Pensiunan polisi dingin inilah yang terlibat dalam terbunuhnya Billy di tangan ayah si pelacur.

Semua memburuk ketika Julian, yang mengetahui kakaknya tewas setelah membunuh pelacur remaja dan mati di tangan ayahnya, menganggap semua itu adalah keadilan yang pantas. Crystal (Kristin Scott Thomas), ibu Julian yang datang dari AS, justru berpikiran lain; dan yang ia inginkan hanyalah balas dendam atas kematian putranya, namun untuk urusan balas dendam, ia sendiri sadar bahwa ia ditinggali putra yang salah. Julian yang pendiam pun harus berhadapan dengan terror dari ibunya sendiri dan terror dari Chang.

Plot yang terkesan hampa dan tak berjiwa ini sebenarnya adalah jiwa film ini. Jika ditilik sepintas, plot yang ditawarkan Only God Forgives hanyalah kehormatan keluarga, pembalasan dendam, dan manusia-manusia tanpa moral. Plot seperti ini segera mengingatkan saya pada narasi yang minim di film viking Refn tahun 2009 Valhalla Rising sekaligus kurangnya moralitas Fear X atau Pusher. Meskipun demikian, Only God Forgives sebenarnya menitikberatkan penggunaan simbolisme dan interpretasi penontonnya (Seringnya Julian merenungi tangannya, pedang dan karaoke-nya Chang, tatapan kosong para pemainnya–adalah simbolisme yang pasti).

Karakterisasinya sangat tidak manusiawi, tapi sangat menarik. Meskipun kisahnya luas, tapi film ini sendiri sebenarnya hanya melibatkan 3 tokoh utama yang saling bertalian. Karakter Gosling–Julian, karakter Scott Thomas–Crystal, dan karakter Pansringarm–Chang adalah kunci film ini. Julian selalu diam di film ini; karakternya tidak bisa ditebak. Sebenarnya Gosling memainkannya dengan sangat baik–dengan dialognya yang hanya 17 baris sepanjang film (termasuk “wanna fight?“-nya yang ikonis) dan tatapan kosongnya. Hal yang sama juga ditampilkan Pansringarm lewat tokoh menyebalkannya, Chang. Jarang bicara namun tanpa belas kasihan–pedang tradisionalnya seolah menjadi mulutnya. Tokoh Chang ini bagaikan robot pembela keadilan yang benar-benar tanpa jiwa–namun Refn punya alasan sendiri tentang karakter ini yang disebutnya sebagai inkarnasi tokoh One Eye di Valhalla Rising dan Stuntman di Drive. Apapun itu, Pansringarm yang meskipun veteran mampu mengakomodasi “menyebalkannya” karakter ini. Namun, daya tarik utama film ini, tentu saja, Kristin Scott Thomas yang mampu menampilkan ibu yang dingin dan berkelakuan menyimpang, Crystal; tokohnya adalah nyawa tokoh Gosling. Dengan jujur dan tegasnya, Crystal memutarbalikkan gaya sosialitanya menjadi semburan amarah dengan kata-kata kotor–seolah wanita ini memiliki b*tch switch-nya sendiri. Jika ada alasan mengikuti Only God Forgives, tentu Scott Thomas bisa menjadi yang primer–atau mungkin peran kecil Rhata Phongam sebagai May, pelacur cantik yang dicintai Julian, menjadi alasan sekunder.

Bagi penggemar tayangan ultra-violence, Only God Forgives tentu memberi semangat tersendiri. Meskipun banyak kekerasannya yang eksplisit, tapi kekerasan yang on-screen pun tetap membuat bergidik. Hal ini makin memantapkan Refn sebagai sutradara yang ahlinya stylistic–membuat yang tak terlihat di layar menjadi sangat mengerikan, dan yang terlihat makin mengerikan. Disyut oleh kolaborator tetapnya, Larry Smith (yang memukau lewat Fear X, 2003 dan Bronson, 2008) serta scoring Cliff Martinez (Drive, 2011), audio dan visual Only God Forgives sangat penuh warna dan tak ada bandingnya. Tapi, dalam urusan membuat film meditatif-surrealis, Refn sepertinya harus belajar untuk menyenangkan penonton.

Dengan packed action serta audio-visual yang super-stylized a la Refn, Only God Forgives tetap menjadi film yang gila dan stylistic. Namun, simbolisme yang “terlihat menyatu” dengan film serta pengaruh Jodorowsky mungkin nilai plus sekaligus minus film ini.

[imdb style=”transparent”]tt1602613[/imdb]

SPOILER ALERT! Stop here if you haven’t watched this movie.

Tadi saya sempat menyinggung simbolisme di Only God Forgives sebagai kunci di film ini. Jika dilihat dengan jelas, judul film ini sudah menceritakan apa yang sebenarnya terjadi–penebusan, yang digambarkan lewat simbolisme tangan, pedang, dan karaoke.

Menurut saya, dosa di film ini digambarkan dengan simbolisme tangan; penebusan di film ini digambarkan dengan simbolisme pedang; dan tanda bahwa dosa sudah diampuni adalah karaoke. Dengan memetakan simbolisme seperti ini, kisah dan kekerasan di balik Only God Forgives bisa dimengerti. Oleh karena itulah, Chang memotong tangan ayah pelacur yang dibunuh Billy menjadi masuk akal; adegan penyiksaan di bar oleh Chang juga sama; termasuk adegan terakhir film ini di mana Julian membiarkan tangannya dipotong. Ketiganya diakhiri dengan karaoke oleh Chang yang menandakan dosa yang telah diampuni.

Bagaimana Julian sering menatap tangannya mengingatkannya akan dosa-dosanya: kepada May, kepada ibunya, dan kepada ayahnya (yang diceritakan oleh Crystal pada Chang tentang Julian yang membunuh ayahnya dengan tangan kosong) adalah kunci yang pasti tentang pencarian Tuhan itu. Berbagai kekerasan di film ini makin menunjukkan bahwa hanya Tuhan yang maha pengampun, karena manusia sering kali penuh dendam.

5 responses

  1. Akbar Saputra Avatar
    Akbar Saputra

    Menarik ttg simbolisme yg lo tulis. Gw lebih menikmati sinematografinya, warna-warni neon serta graphic violence yang ngeri. Film ini sangat divisive ya, sayang kritikus ga terlalu senang sama film ini.

    1. kritikus sukanya gitu :p
      Only God Forgives terlalu banyak naroh ‘what critics hate’ sih ya
      surreal, stylistic, violent, etc

  2. […] titled How to Catch A Monster), one might think it’s a sequel to Nicolas Winding-Refn’s Only God Forgives, in which Gosling took a role. There’s plenty of similarity in visuals and artsy quality; as […]

  3. […] The Neon Demon is almost as aesthetically meaningful as Bronson and meaningfully aesthetic as Only God Forgives; but it isn’t. It sticks to the belief that “beauty is the only thing.” Or the whole film is […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!