Güeros (2015) – BALINALE Review

Read Time:5 Minute, 1 Second

During the middle act of Güeros—Alonso Ruizpalacios’ whimsical directorial debut, a character talks to another, complaining about Mexican filmmakers make a so-called art film, shoot it in black and white with the infusion of poverty, corruptions, riots, and gangsters in background, then go to overseas festival, attempts to convince French critics about its substance, yet, instead of self-funding it, those filmmakers uses money collected from taxes. While the other character gives an amen to it.

Güeros is self-aware of itself as that movie who tries to be pretentious and artsy as described by its own characters, only in D.I.Y. indie side. That spirit is what the movies tries to depict and emanate—the pretentious rebel of youth in a solid satire of teen angst in a political collapsed country.

Loosely based on the 1999 UNAM student riots in Mexico City, Güeros is a coming of age rebellious act and art. It follows the tail of Federico “Sombra” (Tenoch Huerta), a philosophically depressed student whose life is left to nothingness after the university collapsed. With his buddy, Santos (Leonardo Ortizgris), Sombra spends the day slacking over, doing nothing, and occasionally tricks their disable neighbor to get free electricity.

Life changes when Sombra’s little brother, Tomás is sent by his fed-up mother to live with him. 

Tomás is, indeed, ill-prepared in living with his purposeless brother. Unable to fit in amongst these older slackers, Tomás discovers that unsung Mexican folk-rock hero Epigmenio Cruz, whose work is his brother and his father’s favorite, has been hospitalized somewhere in the city. Tomás then forces Sombra and Santos to track him down in order to pay their final respects on Epigmenio’s deathbed—to a man who they believe has made Bob Dylan cries. Little do they know that their journey to find the hero has led them to a deeper voyage of self-discovery amidst the frenetic Mexico City.

Without doubt, Güeros becomes an unusual road movie that unravels every side of Mexico City at its core. Filmed in black and white with 4:3 aspect ratio along with disturbing noises and philosophical propaganda coming over and over, the movie is definitely pretentious; if not too ambitious. It embraces almost all elements every indie movie should have—including shaky camera work by Damian Garcia and distant, edgy soundtracks in juxtaposition.

However, Güeros is still an enjoyable, well-acted movie. Although the plot bounces from one point to another, the movie itself never loses its quirky charisma. It’s a young-blooded satire full of criticism and fresh jokes about everything—e.g., they keep asking questions about continental breakfast as they wonder what continental it refers to, and something like that. Albeit it looks ambitious, it’s still a playful comedy—a reflection of youngsters who resent people and judgement.

While screened at BALINALE 2015, director Alonso Ruizpalacios mentions that this is a love-letter to his hometown, Mexico City. I amen that. But for me, it’s more than just a love-letter; it’s a love-mural to the director’s love-hate city, but more than that, it’s the young poetic blood at its finest. Being young and not revolutionary is contradictory, they said.

Güeros (2015)

Coming of Age, Drama Directed by: Alonso Ruizpalacios Written by: Alonso Ruizpalacios, Gibrán Portela Starred by: Tenoch Huerta, Ilse Salas, Sebastián Aguirre, Leonardo Ortizgris Runtime: 106 mins Unrated

IMDb


Di tengah-tengah Güeros—debut penyutradaraan Alonso Ruizpalacios yang sangat whimsical, seorang karakter komplain tentang para filmmaker Mexico yang membuat film seni, dengan gambar hitam putih, bercerita tentang kemiskinan, korupsi, kerusuhan, dan gangster, lalu pergi ke festival film internasional, mencoba meyakinkan kritikus Perancis tentang karya seninya; padahal filmnya tidak dibuat dengan uang sendiri tapi uang hasil pajak.

Dengan itu, Güeros sebenarnya mendeskripsikan dirinya sendiri sebagai film artsy dan pretentious; hanya saja di sisi indie. Semangat itulah sebenarnya yang mencoba digambarkan film ini—semangat rebel of youth yang pretentious dalam satir tentang kota yang collapsed ini.

Berdasarkan kejadian nyata, demonstrasi besar-besaran mahasiswa UNAM pada tahun 1999, Güeros adalah kisah coming of age yang muncul karena imbasnya. Cerita Güeros berkutat pada Federico “Sombra” (Tenoch Huerta), seorang mahasiswa UNAM yang kini hidupnya hampa semenjak universitasnya lumpuh—menyebabkannya depresi secara filosofis. Bersama sahabatnya, Santos (Ortizgris), Sombra menghabiskan harinya tanpa tujuan, hanya bermalasan dan kadang menipu tetangganya untuk mendapat listrik gratis.

Namun kehidupannya berubah saat adiknya yang nakal, Tomas, dikirim ke Mexico City karena ibunya tak mampu menerima tingkahnya lagi.

Tomas memang tak siap dengan gaya hidup kakaknya yang nihil. Namun, Tomas mendapat berita bahwa idolanya sejak kecil, pahlawan folk-rock Mexico, Epigmenio Cruz—yang juga adalah favorit kakak dan ayahnya—tengah terbujur sakit keras di Rumah Sakit di kota itu juga. Tomas memaksa kakaknya dan Santos untuk mencari Epigmenio untuk memberikan pernghormatan terakhir untuknya. Namun ternyata pencarian mereka akan Epigmenio malah menuntun mereka pada perjalanan yang lebih dahsyat—perjalanan mencari jati diri di tengah hiruk pikuk Mexico City.

Tak diragukan lagi, Güeros adalah sebuah road film yang unik. Dengan gambar hitam putih lengkap dengan rasio layar 4:3 ditambah dengan bebunyian yang bising plus propaganda filosofis di setiap dialognya, film ini jelas adalah film yang sangat pretentious. Güeros mencoba menghadirkan semua hal yang seolah harus dimiliki film indie termasuk camera work yang shaky dan soundtrack yang edgy.

Namun demikian, Güeros masih adalah film yang sangat bagus. Akting para aktornya sangat pas dan juga atmosfernya sangat muda. Meskipun plotnya memantul dari satu hal ke hal lain dengan mudahnya, film ini tak pernah kehilangan karisma quirky-nya. Satir berdarah muda ini penuh dengan kritik dan lelucon tentang segala hal—dari linguistik sampai filsafat. Namun semua itu tak menghentikan film ini menjadi playful—sebuah refleksi tentang remaja yang anti judgment.

Saat ditayangkan di BALINALE 2015, sutradara Alonso Ruizpalacios sempat menyebut bahwa film ini adalah surat cinta untuk kota kelahirannya. Tapi, sangat jelas bahwa Güeros lebih dari sekedar itu, film ini adalah mural cinta tentang kota yang penuh kebencian sekaligus cinta yang dilukiskan dengan semangat pujangga muda. Muda dan tidak revolusioner itu kontradiksi, katanya.

2 responses

  1. Sounds pretty good!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!