Sing Street (2016): Antara Dublin, ballad 80-an, cinta pertama dan John Carney

Read Time:3 Minute, 43 Second

Review Sing Street: Tak berlebihan jika menyebut John Carney sebagai sutradara musikal paling prominent saat ini. Ia telah meresap ke dalam musik pop dan memaknainya dengan motion picture, seperti terbukti lewat banjir pujian pada Once (2006)—yang membawa pulang Oscar lewat single-nya ‘Falling Slowly’—serta Begin Again (2013)—yang meraih nominasi Oscar untuk ‘Lost Star.’

Karya terbarunya, Sing Street sendiri terasa seperti karya Carney paling personal—sebuah surat cintanya pada Dublin circa 80an, yang menderita ekonominya namun menggelora semangatnya. Ballad 80-an dan kisah cinta pertama bertautan dalam kisah yang nampak sederhana, tapi kaya akan subtext dan referensi.Meskipun kental dengan nuansa coming-of-age, jangan terburu-buru menyimpulkan Sing Street sebagai film boy-meets-girl atau start-a-band banal, karena memang bukan. Secara garis besar plot memang terasa familiar, tapi tarik garis lebih jauh dari detail yang ditampilkan, Sing Street adalah homage luar biasa untuk Dublin era 80-an sekaligus untuk musik dan fashion dekade yang sama. Lebih jauh, ini adalah arthropologi kehidupan remaja Dublin dari era childhood John Carney.

Image via IMDb | Ferdia Walsh-Peelo, Lucy Boynton

Krisis ekonomi yang melanda Irlandia tahun 1985 telah menyudutkan rumah tangga keluarga Lalor di ambang kebangkrutan—secara finansial dan secara hubungan. Imbasnya, Conor (Ferdia Walsh-Peelo) yang masih berusia 14 tahun harus pindah dari sekolah mahalnya ke sekolah Katholik gratis, Synge Street CBS, yang diurus oleh para bruder Jesuit. Penuh bully dan pendidik yang konservatif, hari-hari sekolah Conor sama sekali tak menyenangkan, sampai suatu momen terjadi.

Raphina (Lucy Boynton), London-model wannabe, yang sering berdiri tepat di seberang gerbang sekolah Conor telah memikatnya. Ingin menarik perhatian Raphina, Conor mengaku sebagai anak band dan mengajaknya untuk menjadi model video clip. Beruntung Conor berteman dengan Darren (Ben Carolan) yang dengan singkat membantunya membentuk band untuk memenangkan hati Raphina. Seketika musik memberi alasan hidup bagi Conor; bahkan musik telah memberi makna yang baru bagi tujuan hidupnya.

Dengan background ekonomi keluarga yang memburuk (in fact, ekonomi se-Irlandia), tak ada impian yang bisa menjadi nyata. Bahkan kakak Conor, Brendan (Jack Reynor) harus mengubur impiannya menyelesaikan kuliah. Himpitan ekonomi pun pelan-pelan menghancurkan rumah tangga, setelah ketidakpuasan ibu mereka memuncak dengan perselingkuhan. Krisis ekonomi adalah nada dasar musik Sing Street, yang membumbung tinggi bersama mimpi.

Seketika musik menjadi satu-satunya mimpi Conor yang virtually achievable. Ia tidaklah terlahir dengan gen musisi; ia hanyalah fan kecil Duran Duran dan pemuja cinta pertama. Beruntung ia punya kakak seorang music geek, Brendan (Jack Reynor), yang bertindak sebagai mentornya. Dan beruntung ia punya sosok Raphina—dengan mimpi personalnya—yang menjadi fuel untuk mimpinya.

Banyak isu sosial khas Dublin 80-an yang secara tidak langsung diangkat ke dalam Sing Street, termasuk domestic violence, kemiskinan, dan Chekov’s gun-nya, isu imigran gelap ke London. Semuanya dirangkai dalam jalinan romansa remaja yang menjadi latar belakang starting-a-band trope. Kayanya subtext tak lantas membuat plotnya terasa terlalu padat, karena plot Sing Street hanya berfokus pada satu hal saja hingga akhir.

Image via IMDb | Ferdia Walsh-Peelo, Mark McKenna

Sebagai film tentang musik, Sing Street tak banyak basa-basi. Sekali film ini bernyanyi, lagu-lagunya yang ear-catching cepat menghipnotis hingga tak sadar  sudah masuk third-act film ini. Barisan lagu-lagu yang digubah John Carney dengan Gary Clark mampu menangkap estetika musik 80-an, lengkap dengan liriknya: candid dan straightforward. Meski, tak serta merta mengiringi plotnya, namun, lagu-lagunya berfungsi sebagai refleksi Conor akan apa yang telah terjadi pada dirinya, e.g., ‘The Riddle of the Model’, sebuah apresiasi tongue-in-cheek untuk Raphina; ‘Up’ (my personal favorite) yang berisi curhatan; atau ‘Drive It Like You Stole It’ (possible Oscar contender?) yang berisi motivasi untuk Raphina.

Banyak selebrasi yang John Carney lontarkan lewat Sing Street, menjadikannya semi-biografi akan kehidupan dan mimpi-mimpinya. Sing Street tak pernah kendor; ia terus memberikan perasaan senang pada penontonnya, sekaligus mengacak-acak emosi di saat yang tepat. Meskipun beberapa bagian terasa terlalu berani, namun itulah realita kehidupan Dublin yang keras dekade itu; dan John Carney hanyalah musisi sekaligus sineas yang merasa perlu mengabadikannya.

Sing Street menyanyi, menghibur, memotivasi, dan menghidupkan mimpi; bagaikan saudara yang saling menguatkan. Tak salah jika kalimat ‘for brothers everywhere’ disematkan di akhir film ini.

Sing Street (2016)

Drama, Music, Comedy, Coming of Age Written & Directed by: John Carney Starred by: Ferdia Walsh-Peelo, Aidan Gillen, Jack Reynor, Lucy Boynton Runtime: 106 mins Rated PG-13

IMDb

5 responses to “Sing Street (2016): Antara Dublin, ballad 80-an, cinta pertama dan John Carney”

  1. Adhiem Mijan Maulana Avatar
    Adhiem Mijan Maulana

    Review Inggrisnya Jago, review Indonesianya enak dibaca… Pantes menang Piala Maya

    1. Paskalis Damar AK Avatar
      Paskalis Damar AK

      Thank you udah mampir dan nyempetin baca đŸ˜€

  2. Papap Timun Avatar
    Papap Timun

    Review keren untuk film yang keren..
    Btw, “Up” is my my favorite too.. đŸ™‚
    Lanjutkan!

  3. Best of 2016: Films | sinekdoks – Movie Review

    […] 03. Sing Street (John Carney) […]

  4. Review: Midsommar (2019) | sinekdoks – Movie Review

    […] the stumbling relationship between Dani (Florence Pugh, Lady Macbeth) and Christian (Jack Reynor, Sing Street, Free Fire). Dani is overly attached, if not dependent, to Christian; meanwhile, Christian is […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!