Pada tahun 2006, 300 mengejutkan para penikmat sinema dengan adegan pertarungan berkoreografi brutal yang dikemas dalam CGI dan Slo-Mo penuh gaya. Para karakternya pun digambarkan sebagai kumpulan pria komikal bertelanjang dada yang suka berteriak-teriak. Sekuel yang asal-asalan pasti sangat mengganggu. Untungnya… Rise of an Empire bukan hanya sekedar sekuel atau prekuel. ROAE adalah sekuel, prekuel, sekaligus sidequel.
Kali ini, Snyder, sang sutradara 300 orisinil, Zack Snyder tak lagi menjadi sutradara—melainkan produser sekaligus penulis naskah. Sutradara asal Israel, Noam Murro diberi tanggung jawab untuk menyutradari ROAE—namun tanpa mengurangi kenikmatan menonton pendahulunya.
Film ini berfokus pada 2 periode waktu: yang pertama, sebelum peristiwa di 300—untuk memperdalam karakter Xerxes (Rodrigo Santoro), yang ayahnya tewas di tangan Themistocles(Sullivan Stapleton) dan yang kedua adalah Battle of Artemisium—yang berlangsung bersamaan dengan Battle of Thermopylae, saat Leonidas dan 300 pasukannya bertempur. Intinya, film ini memperkaya mitologi Yunani a la Snyder dan Miller.
Film ini bukan sekedar tentang ‘sebab-dan-akibat’—tentang konsekuensi pembunuhan King Darius, ayah Xerxes, oleh Themistocles, yang membuat anak ini berubah menjadi raksasa lalim yang gemar perang. Sementara muka-muka lama semacam istri Leonidas, Ratu Gorgo (Lena Heady), Dilios (David Wenham), Ephialtes dan bahkan seorang utusan Persia yang mungkin kau kenal (diperankan Peter Mensah) kembali muncul di layar; ROAE juga menampilkan sesosok pemimpin wanita Persia yang kejam, Artemisia (Eva Green).
Themistocles sangat berbeda dengan Leonidas. Ia lebih noble dan dia tidak suka menyalak-nyalak—jadi, jangan harap ada kumpulan orang yang berteriak-teriak dengan kompak di sini. Themistocles bahkan tidak memiliki pasukan setangguh Leonidas—namun ia memiliki seluruh strategi dan pesona untuk melawan musuhnya. Sementara itu, musuh besarnya, Artemisia (bukannya Xerxes) lebih terasa seperti cerminan dirinya—Green punya potensi “mengganggu” dominasi “kumpulan dada pria” di dunia 300.
Yang sudah menyaksikan 300 yang pertama pasti tahu benar jika banyak repetisi di ROAE ini. Alur filmnya, hubungan antar karakternya… terasa seperti deja vu. Di sanalah, letak permasalahannya. Namun, film ini penting—setidaknya film ini bisa membuat film 300 yang pertama terasa sangat hebat efeknya.
Di bioskop lokal, sensor mungkin menjadi sangat mengganggu—di beberapa bagian, sensor ini sedikit mengaburkan kisahnya. Tapi, gambar 3D-nya cukup menghibur—baik efek depth maupun pop-outnya—dalam menampilkan pertempuran slo-mo dan banyak hal lainnya. Selain itu, cliffhanger di akhir film bisa jadi mengarah ke sidequel lain… Siapa tahu?
Leave a Reply