Siapa Wally Pfister sebenarnya? Yang saya tahu, beliau adalah sinematografer yang memenangkan Oscar lewat Inception serta yang lebih jelas, beliau adalah kolaborator favorit Christopher Nolan. Tak mengherankan jika debut penyutradaraannya, Transcendence, punya cita rasa Nolan yang sering meragukan eksistensi manusia. Transcendence punya cita rasa sci-fi kental yang tak bisa sepenuhnya bercampur dengan idealisme dan romansa, meskipun Pfister sudah berusaha untuk menghidupkan screenplay Jack Paglen.
Mungkin memang tak sekuat karya Nolan, tapi Transcendence juga memiliki adegan pembuka yang thoughtful menunjukkan sisa hancurnya peradaban dan teknologi. Sebuah premis post apokaliptis yang menggugah. Namun, selanjutnya, film ini tak terlalu seperti ekspektasi.
Lima tahun sebelum adegan pembuka tadi, Dr. Will Caster (Johnny Depp) bersama mitra kerja dan mitra hidupnya, Evelyn Caster (Rebecca Hall) mencoba mentransfer intelijensi yang nyata ke dalam dunia digital. Dengan didukung mentornya, Dr. Joseph Tagger (Morgan Freeman), penemuan awal ini mempunyai potensi besar. Will menyebut penemuannya ini sebagai sebuah entitas yang mampu menandingi intelijensi seluruh manusia di dunia ditambah seluruh database di dunia—suatu hal yang dianggap “menciptakan tuhan”.
Suatu hal yang bisa merenggut nyawa Will ketika anggota kelompok RIFT yang anti penciptaan itu menembaknya dengan peluru beracun. Saat hidup Will hampir berakhir, Evelyn mentransfer intelijensi dan kesadarannya ke dalam sebuah komputer super dengan dibantu kolega mereka Dr. Max Waters (Paul Bettany). Ketika Will tewas, seluruh harapan hilang–namun ketika mereka mulai menyadari suara Will di komputer, mereka terpecah. Evelyn menganggapnya sebuah pencapaian yang harus dilindungi, sementara Max justru ragu apakah itu Will yang sesungguhnya atau hanya sebuah mesin dengan kesadaran Will.
Untuk membangun paradoks sebesar ini, film ini sendiri sudah menghabiskan sepertiga durasinya. Kelanjutannya justru mengecewakan. Evelyn membangun sebuah site raksasa dalam upayanya mendigitalisasikan suaminya. Plotnya yang dipercepat menyerahkan semuanya pada penonton untuk berpikir dan menyimpulkan sendiri, dan bukannya berusaha menjelaskan detailnya. Ketika semua konflik menumpuk, Transcendence justru gagal membangun klimaks yang mampu mencakup semua ambisi yang sudah ada. Ketika Will digital mulai membangun pasukan yang disebutnya “hybrid”, film ini sudah kehilangan pesonanya.
Transcendence sedikit banyak tertutupi dengan campurannya yang acak. Tema yang saling overlap hanya hal kecil, deretan pemerannya sedikit kacau—menampilkan Depp dan Freeman yang sama sekali berbeda. Beruntungnya, mereka tidak sering bertemu di layar. Sejujurnya, Depp lebih menarik ketik ia muncul dalam wujud pixelnya. Sementara Hall sangat mempesona memerankan istri Depp yang mampu menjaga chemistry keduanya. Suka atau tidak, hubungan mereka mengingatkan kita pada Her karya Spike Jonze; hanya saja ini lebih klise dan melodramatis. Pada akhirnya, romansa yang lebih dari sekedar gimmick ini tak mampu “transcend” alias mengangkat film ini.
Meskipun film ini gagal sebagai entertainmen, Transcendence masih mampu menyampaikan prediksinya tentang teknologi di masa depan dengan meyakinkan. Ide tentang teknologi yang mengambil alih penciptanya adalah ironi yang sayangnya bisa jadi nyata; dan reaksi peradaban manusia terhadap hal itu juga berhasil dipetakan dengan baik, karena Pfister dan Paglen.
Leave a Reply