Saat Disney kehabisan ide cerita baru untuk difilmkan, visi mereka sangat bijak. Studio ini menceritakan ulang suatu versi dari dongeng abad 19, The Sleeping Beauty alias Putri Tidur—yang juga pernah difilmkan Disney lewat animasi mereka tahun 1959. Yang mengejutkan, Disney justru mengeksplorasi sisi gelap kisah ini dengan sudut pandang tokoh jahat legendarisnya, Maleficent—yang mengutuk seorang bayi dengan sihir kejamnya.
Di awal film (ingat baik-baik), film ini punya skrip yang cerdas dan rapi—karya talenta Disney Linda Woolverton. Dalam mengisahkan kisah si “penyihir jahat”, film ini memberikan motif yang masuk akal dalam perubahan peri baik kita, Maleficent (Angelina Jolie), menjadi sangat pendendam. Peran Jolie dalam memerankan Maleficent sungguh luar biasa, apalagi ketika ia mengaburkan batas antara baik dan jahat. Tapi Jolie tidak sendirian; Maleficent kecil (yang diperankan Isobelle Molloy) sama menariknya, terlebih saat ia terbang bersama para peri dan makhluk dongeng lainnya dalam kebahagiaan.
Sebuah pengkhianatan—yang lebih baik tak perlu dikisahkan—telah merubah Maleficent menjadi penyihir jahat. Dipenuhi dendam pada manusia yang mengecewakannya, Raja Stefan (Sharlto Copley) yang tiran, Maleficent mengutuk putrinya dengan kutukan tidur selamanya. Sembari menanti masanya, Maleficent terus mengawasi Aurora, sang putri tersebut (diperankan Elle Fanning dengan muka komiknya). Tanpa ia sadari, perputaran nasib akan mempertemukan mereka dalam sebuah kisah yang belum pernah diceritakan.
Sepanjang film, bagian terbaik Maleficent adalah persona dari penyihir jahat yang diperankan Jolie. Karakternya sangat jahat sekaligus mengagumkan; akting dan penampilannya juga sangat mempesona. Tulang pipi dan bibir merahnya, kulit pucatnya serta tanduknya yang menyeramkan mampu membuat Jolie terus-terusan mengintimidasi. Masalahnya, Jolie selalu meyakinkan hanya saat ia tampil jahat atau saat sedang berkonflik. Transisi karakternya memang baik, tapi ia memang lebih cocok dengan peran buruknya daripada menjadi protagonis. Untungnya, Jolie punya chemistry yang baik dengan Sam Riley, pemeran gagaknya, Diaval—setidaknya, hubungan ini mampu menjaga peran dimensionalnya.
Jika tidak ada masalah dengan Jolie sebagai pusat perhtian, maka masalah utama Maleficent justru terletak pada narasinya—terutama sebelum klimaks dan di babak ketiga. Pembentukan konflik di paruh pertama yang rapi dan sensasional ternyata belum mampu menampung kisah ini. Sebuah usaha untuk menciptakan twist dalam kisah ini terbukti malah mengacaukan bagian akhir film ini. Kacaunya arahan sutradara Robert Stormberg dalam paruh kedua film ini terlihat dari caranya menjejalkan keputusan yang terburu-buru serta menyepelekan untuk memberi resolusi bagi kisah ini. Pertanyaannya, apakah kita masih perlu menghindari ending yang beresiko dalam film musim panas? Bagi Maleficent, jawabannya hanya: ya.
Di luar semua itu, Maleficent tetaplah film Disney yang bagus—sebuah bukti bahwa Disney dipenuhi visioner yang bijak. Dengan narasi yang stabil di awal dan jalan pintas sederhana di tengah, film ini dipastikan mengejar Rating PG. Namun, parade makhluk CGI dan scoring yang terlalu orkestral—yang saya pun tak terlalu suka—menjelaskan bahwa film ini cocok menjadi hiburan musim panas ini. Namun, Maleficent tetaplah bukan Maleficent tanpa Angelina Jolie.
TRIVIA: Ada sebuah momen Maleficent bertemu Aurora kecil. Pemeran Aurora kecil adalah Vivienne Jolie-Pitt, putri Angelina Jolie sendiri. Alasannya sederhana: Vivienne tidak menangis melihat “Maleficent” yang seram itu.
Leave a Reply