Big Hero 6 (2014)

Read Time:4 Minute, 25 Second

Big Hero 6 adalah sebuah fusion mengagumkan—bukan hanya antara properti Marvel dengan Disney, atau antara budaya geek Amerika dengan Jepang, tapi antara dua genre berseberangan yang hasilnya justru konyol dan sangat menghibur.

Kisahnya terjadi di kota futuristik San Fransokyo (portmanteau antara San Fransisco dan Tokyo), ketika Hiro Hamada (Ryan Potter), penemu muda yang jenius meninggalkan bisnis ilegal adu robot untuk mengejar mimpi masuk ke universitas abangnya. Lalu masalah terjadi, ledakan tak terduga menewaskan abang Hiro—membuat Hiro larut dalam duka. Namun, pertemuannya dengan Baymax (Scott Adsit), robot medis imut buatan abangnya, dengan kenaifan serta kepolosannya justru membawa Hiro dalam petualangan baru yang lebih besar.

Dari awal sampai akhirnya, Big Hero 6 memanjakan penontonnya dengan humor yang meledak-ledak dan disain futuristiknya yang kadang juga mengundang tawa. Momen-momen yang konyol dan, sebaliknya, yang mengharukan muncul di saat-saat yang tepat—tidak terlalu dalam memang, namun cukup untuk menunjukkan sisi sentimental film penuh kadar baja ini.

Film ini makin menarik memasuki third-act-nya—lebih banyak adegan action secepat roller-coaster dan konflik yang makin berlapis. Big Hero 6 cepat berubah dari film tentang “meredakan luka” menjadi film whodunit sebelum akhirnya menjadi film superhero yang sebenarnya. Bersama empat sahabat abangnya, Hiro dan Baymax merancang kostum superhero lengkap dengan senjatanya yang canggih namun nerdy untuk melawan penjahat super yang telah mencuri alat Hiro dan memiliki portal antar dimensi; namun; yang terjadi selanjutnya justru lebih banyak tawa dari pada ketegangan. Plot dan twist-nya memang mudah diprediksi tapi memang bukan itu fokus Big Hero 6. Film ini berfokus pada keseimbangan. Hiro menjadi motor penggerak plot dan konfliknya sedangkan Baymax—yang diprogram ‘tanpa’ kekerasan—menjadi penyeimbangnya yang sekaligus menjadi hati film ini.

Setiap aspek di Big Hero 6 adalah wujud dari fusion—Disney dan Marvel; gaya anime Jepang dengan gaya animasi 3D Amerika; momen penuh tawa dan momen penuh air mata—yang menjaga keseimbangan film ini. Karena itulah, film ini menjadi hiburan segar yang berbeda dari film Disney lainnya dari awal (dibuka dengan companion movie berjudul Feast tentang seekor anjing dan makanan) sampai akhirnya (cameo animasi Stan Lee yang sangat konyol dalam post-credit scene).

5 responses

  1. Yeeaaahhh, great review! I really hadn’t considered the ‘fusion’ aspect of it, not consciously anyway, but it makes perfect sense. I really, really enjoyed this movie.

    I’m with you thinking it was a little predictable, but that didn’t take anything away from it. I’m actually looking forward to seeing it again, and I hardly ever watch anything twice.

    1. Yeah, but this kind of movie no needs to be unpredictable, right? Fusion—that’s what I noticed the first time I saw it. Glad if you’re willing to see it again!

  2. […] the cinema in November. I watched only Interstellar, which made me returned to the cinema twice; Big Hero 6, Disney-Marvel collaboration which turned out being so enjoyable, The Hunger Games: Mockingjay […]

  3. This film was well liked across the board. It had a few spots I enjoyed, but overall I found it to be average. That being said, I am not the target audience and you can’t please everyone. In this case it looks like I am on the outside looking in

    1. I understand why you found it to be average, and you’re entitled to your opinion 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!