Samaria a.k.a Samaritan Girl adalah film kedua Kim Ki-duk yang saya saksikan; dan semakin memperkuat anggapan saya bahwa sutradara ini benar-benar dabbling in art. Samaria terbungkus dalam nuansa drama arthouse yang kental, namun tetap bercerita dan berpotensi menimbulkan multi tafsir.
Pada awalnya, dua orang sahabat Jae-yeong (Seo Min-jeong) dan Yeo-jin (Kwak Ji-min) sangat terobsesi untuk berlibur ke Eropa. Permasalahan timbul karena biaya untuk itu mahal dan mereka yang masih remaja surely can’t afford that trip. Thus, mereka mengumpulkan uang dengan menjalankan bisnis prostitusi, di mana Jae-yeong sebagai pelacurnya dan Yeo-jin sebagai pimp-nya, sekaligus watchdog-nya dari para polisi. Naasnya, kejadian buruk terjadi dan menewaskan Yeo-jin. Jae-yeong yang merasa bersalah pun berusaha menebus dosanya dengan caranya sendiri. Tanpa ia tahu, ayahnya yang seorang polisi menyelidiki kecurigaannya pada putrinya. Sebuah kisah hide-and-seek dan tafsiran biblikal saling intertwined yang mengubah takdir keduanya.
Dilihat dari kisahnya, Samaria terlihat seperti film crime dan prostitusi yang vulgar. Namun, Samaria tidaklah semurahan itu; Samaria memang kontroversi dalam menampilkan pelacuran remaja (yang tabu). Prostitusi hanyalah sebagian kecil dari jalinan kisah besar Kim Ki-duk ini. Selebihnya film ini adalah hide-and-seek ayah dan anak yang (sebenarnya) sangat menyentuh, namun digambarkan dengan terlalu “kejam.” Spotlight dalam kisah ini menurut saya adalah part “Samaria”-nya sendiri; seperti dalam Perjanjian Baru, wanita Samaria dan kaumnya digambarkan sebagai kaum pendosa, namun ada satu kisah di mana wanita ini “memilih” sendiri pertobatannya yang justru diapresiasi oleh Yesus. Entah saya yang terlalu take it too personally atau bukan, tapi kisah dalam Samaria, IMO, mencerminkan part biblikal itu dengan caranya sendiri. Sekali lagi: Kim Ki-duk jenius sekali!
Plot yang lambat dan cerita yang berat ditambah simbolisasi yang kuat tetaplah kekuatan utama Kim Ki-duk (seperti yang nanti ditampilkan dalam Pieta). Terlebih, penggambaran scene yang seharusnya vulgar dengan tidak eksplisit ternyata sudah diimplementasikan di sini. Tambahan lagi di Samaria, film ini terasa seperti memiliki empat kuartal yang berbeda dengan fokus yang berbeda di masing-masing kuartal; namun masing-masing kuartal dihubungkan oleh suatu benang merah yang kuat yang patut direnungkan di akhir film. Bisa dibilang film ini lebih relijius daripada film-film sejenisnya, namun ada unsur blood-is-thicker-than-water yang kental, meskipun itulah konflik utama film ini.
Jujur, memasuki kuartal ketiga film terasa membosankan; alias tensinya turun drastis (seperti di Pieta). Namun memang film yang beralur lambat selalu begitu menurut saya, terlalu lambat menjelang akhir film. Untungnya, film ini ditutup dengan sangat menyentuh dan epic, lewat penggambaran perpisahan antara ayah dan anak yang “menguras hati.”
Saya sangat suka drama Samaria yang tidak bertele-tele, meskipun alurnya lambat. Penafsiran biblikal serta simbolisasi Samaria pun sangat hangat dan menarik (menurut saya). Yang jelas, saya jadi ingin menyaksikan film-film Kim Ki-duk lainnya, terutama Spring, Summer, Fall, Winter… And Summer dan The Isle yang konon masterpiece-nya.
TITLE: Samaria a.k.a Samaritan Girl
GENRE: Drama
DIRECTOR & WRITER: Kim Ki-duk
CASTS: Kwak Ji-min, Seo Min-jeong, Eol Lee
RATING:
Leave a Reply