Pieta / 피에타 (2012)

Read Time:4 Minute, 45 Second

Kisah kasih sayang seorang ibu kepada anaknya digambarkan dengan sangat indah sekaligus brutal dalam Pieta, film keluaran tahun 2012 karya sutradara eksentrik Korea, Kim Ki-duk. Sebuah penggambaran seni dalam balutan kisah keluarga sekaligus suspense khas Korea dengan sentuhan pembalasan dendam.

A Loving Mom, An Unloving Son

Kisah dalam Pieta berpusat pada kehidupan seorang debt collector muda, Kang-Do (diperankan oleh Lee Jeong-jin) yang bertampang manis namun berkelakuan sangat buruk. Ia sangat kejam dan tak berperasaan; tak jarang ia melukai orang saat melakukan aksinya. Hidupnya sangatlah kelam, hampa, dan sepi. Hingga suatu hari kehidupannya berubah semenjak kehadiran seorang wanita paruh baya yang mengaku sebagai ibunya yang dulu pernah meninggalkannya. Mi-sun (diperankan oleh Jo Min-soo), wanita itulah yang nantinya mengubah hidup Kang-Do 180 derajat.

Kehadirannya yang tiba-tiba dan memaksa memang bukanlah hal yang mudah diterima Kang-Do. Berbagai penolakan, perlakuan tidak menyenangkan, bahkan kekerasan seksual diterima oleh Mi-Sun pada awal rekonsiliasinya dengan Kang-Do. Namun, perlahan Kang-do mencair; rasa “cinta” yang ia rindukan selama ini akhirnya ia rasakan dari sesosok Mi-Sun, yang sebenarnya masih belum ketahui kebenarannya. Kehadiran Mi-Sun seolah menjadi katalis bagi Kang-Do untuk menjadi lebih “manusia.” Ia mulai mengenal apa itu yang disebut dengan belas kasihan dan kesempatan kedua. Kasih sayang dan “cinta” yang sedikit awkward antara ibu dan anak ini menjadi konsumsi utama di separuh awal film ini.

Twist kecil terjadi di paruh kedua film ini, ketika Mi-sun tiba-tiba menghilang. Kita pun dibawa mengikuti misi Kang-Do menemukan ibunya, sumber kasih sayang yang ia rindukan sekaligus cinta yang ia dambakan. Drama dan suspense mewarnai pencarian Kang-Do yang memilukan.

Brutally Beautiful – Beautifully Brutal

Kisah dalam Pieta meskipun mengumbar kontroversi, namun disajikan dengan indah dan cekatan lewat pendekatan yang unik dari sutradara Kim Ki-duk. Balutan kisah keluarga dan balas dendam yang memilukan yang bersetting di daerah pinggiran di Korea, di mana poverty didefinisikan dengan cara yang berbeda. Biasanya poverty di film-film lokal digambarkan secara gamblang namun kebablasan, dan terasa merendahkan. Namun, di Pieta, poverty digambarkan dengan sangat menyentuh, bukan dengan gambar menyedihkan, namun dengan kebahagiaan; bagaimana hal-hal kecil terasa sangat besar dan menggembirakan. Seperti itulah Kim Ki-duk menampilkan arti “kemiskinan” secara offscreen dan penuh penghormatan. Kehidupan Kang-Do yang sepi dan hampa pun digambarkan dengan nyata, secara linear dengan bagaimana ia mengekspresikan insult-nya yang perih atau bagaimana ia haus akan belaian lewat masturbasinya. Kontroversi memang jualan film ini; gamblang namun menyentuh.

Yang paling menarik dari Pieta adalah efektivitas plotnya; terlebih dalam membangun konflik demi konflik. Bagaimana setiap scene dibangun dari suspense dan thrill dari scene sebelumnya. Sehingga semuanya tertata dengan rapi dan terekskalasi secara bertahap dan maksimal di paruh kedua film ini. Kejamnya, penonton bahkan tidak diberi kesempatan untuk berharap pada plot film ini. Ketika (nampaknya) muncul titik terang, alur film membuat titik tersebut sirna dengan konflik lain; sehingga menjadikan film ini thriller. Cara seperti ini bisa jadi membuat film terasa lambat dan berat untuk diikuti, bahkan bisa jadi berpotensi membosankan, namun justru di situlah daya tariknya.

Yang sama menariknya, penonton benar-benar dibawa mengikuti pertalian antara Kang-Do dan Mi-Sun, termasuk mengikuti hubungan mereka yang awkward. Sutradara Kim Ki-duk nampaknya ingin mengedukasi penontonnya tentang bagaimana “bermain dengan hal yang dianggap tabu” dengan caranya sendiri. Ia menggambarkan hubungan antara ibu dan anak itu lebih dari hubungan ibu dan anak. Semua dirangkumnya dalam tatanan gambar yang muram dan scoring yang sama muramnya. Ada satu scene di mana Mi-Sun menangis dengan pilunya, terlalu pilu hingga tangisnya blending dengan BGM yang sama memilukannya. Sangat horrible bisa terbawa scene itu.

Sulit memang menikmati film ini jika boleh jujur, apalagi dengan pembangunan plotnya yang berat. Tapi dengan tatanan gambar yang menarik serta cerita yang kuat, why not give it a shot?

Pieta against Korean Traditional Thriller

Meskipun secara gamblang, saya menyebut Pieta ini mengusung genre yang klise dalam perfilman Korea, apalagi dengan gimmick balas dendamnya, jangan buru-buru menyimpulkan film ini akan seperti I Saw The Devil-nya Kim Jee-woon atau Oldboy-nya Park Chan-wook. Kedua film tersebut menggambarkan pembalasan dendam dan thriller dalam kemasan yang gory dan vulgar. Pieta memang thriller yang sama vulgarnya, namun bukan adegan-adegan sadislah yang jadi konsumsi utamanya. Kim Ki-duk mengkonversikan suspense yang ditimbulkan dari violence dengan caranya sendiri; bukan dengan mutilasi atau adegan sadis, namun dengan permainan perasaan penonton. Adegan kekerasannya tidak ditampilkan secara frontal, melainkan off-screen, namun ia tetap bisa mengekploitasi perasaan penonton dengan suara serta pergerakan kamera yang memberikan aftermath yang sama seperti memperlihatkan kekerasan on-screen. Jadi, Pieta memang tidak seeksplisit film Korea lain, namun mampu menghadirkan pengalaman yang tak kalah serunya.

Kim Ki-duk, A New Drug

Sejujurnya, ini adalah perkenalan saya dengan karya-karya Kim Ki-duk yang (ternyata) memang mengesankan. Mulai dari tema, kisah, dan bahkan simbolisasi yang ia hadirkan dalam film-filmnya sangat mengesankan. Dalam Pieta, ia menyampaikan pada penontonnya tafsirannya sendiri akan kepercayaannya, sekaligus bagaimana ia menerjemahkan suatu karya seni dalam wujud seni lain.

Pieta sendiri referring pada patung karya Michaelangelo, menggambarkan Bunda Maria yang tengah menopang jasad putranya Yesus. Kim Ki-duk menampilkannya sebagai alegori sekaligus metafora dalam kisah Pieta yang menggambarkan kejadian pada patung Pieta. Simbolisasi yang ia tampilkan ini mengundang pre-assumption yang pada akhirnya nanti dipatahkan sendiri dalam sebuah kisah drama tragis ibu dan anak.

Pieta, meskipun berat dan lambat, tetap layak dinikmati bagi penonton yang sabar dan “out-of-the-box.” Sebuah kisah “keluarga” yang tragis dengan balutan pembalasan dendam dan seksualitas yang kental ini layak untuk mendapatkan kesempatan. Dan Kim Ki-duk nampaknya langsung menjadi candu baru bagi saya.


TITLE: Pieta

GENRE: Drama

DIRECTOR: Kim Ki-duk

WRITER: Kim Ki-duk

CASTS: Lee Jeong-jin, Jo Min-Soo

RATING:  

6 responses

  1. Sebenarnya saya udah beli DVDnya, tapi belum kesampaian nontonnya-_-

    1. haha ditonton dulu aja, saya juga awalnya agak underwhelming sebelum menonton, tapi ternyata memang terbukti film asia sedang berkembang 😀

      1. Kalau film Kim ki duk lainnya udah nonton belum? Saya akuin bagus, tapi benar-benar gak kuat saya nontonnya-_-

        1. Samaria, ini baru otw mau nonton. The Isle lagi mencari, tapi katanya sadis :p
          Spring, Summer, Fall, Winter…and Spring yang katanya masterpiece malah belum lihat hehe
          gak kuatnya gimana nih?

  2. bosen aja, karena telalu pelan ceritanya, haha. Saya yang Spring itu masih kuat, tapi kalau The Bow…udah kebelet mau matiin laptop :3

    1. kan semua film Kim Ki-Duk lambat sekali, lagipula memang berat :p atau mungkin karena kamu masih kecil kali yaa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!