Di tahun 2009, Neill Blomkamp, sutradara asal Afrika Selatan menggambarkan diskriminasi rasial yang terjadi di negaranya dengan gimmick sci-fi alien dalam District 9; film yang akhirnya menjadi milestone bagi diirnya dan bagi perfilman sci-fi modern. Di 2013, Blomkamp kembali dengan budget yang lebih besar untuk menggambarkan masalah sosial lain dengan gimmick yang sama. Kini, ia menggambarkan kesenjangan sosial sekaligus permasalahan imigran gelap dalam Elysium.
Welcome to the Elysium!
Ketika bumi tak lagi menjadi tempat yang layak ditinggali, didirikanlah sebuah stasiun luar angkasa yang sangat canggih, yang menawarkan kehidupan yang layak dan glamour bernama Elysium. Mereka yang kaya berhak tinggal di Elysium, sementara yang tidak mampu ditinggal di bumi dan dihadapkan pada kemiskinan, penyakit, kriminalitas, serta pengawasan bots yang tanpa ampun.
Takdir membuat seorang buruh pabrik bercatatan kriminal, Max da Costa (diperankan oleh Matt Damon) mengalami kecelakaan kerja dan tinggal memiliki 5 hari untuk hidup. Satu-satunya harapan hidupnya hanyalah Med-pod yang konon bisa menyembuhkan apapun, yang sayangnya berada di Elysium. Bisakah Max mencapai Elysium? Andai ia bisa bekerja sama dengan peretas Elysium Spider (Wagner Moura) untuk menghadapi kepala keamanan Elysium, Delacourt (Jodie Foster) serta agen gilanya, Kruger (Sharlto Copley), Max bisa saja menyelamatkan hidupnya dan orang lain.
Blomkamp’s First Challenge!
Dengan budget raksasa dan embel-embel kesuksesan District 9, Elysium tentu diharapkan bisa menghasilkan sesuatu yang lebih. Blomkamp pun mwujudkannya dengan pameran teknologi CGI yang mengekskalasi kadar sci-finya. Namun memang ada sesuatu yang mengganjal dari Elysium; selain premisnya yang “sedikit biasa”, satelit luar angkasa juga bukan merupakan hal baru (kita sudah melihatnya di Oblivion-nya Tom Cruise); selain itu pendekatan narasinya pun terasa bukan Blomkamp (at least tidak semenarik District 9).
Secara sci-fi, Elysium justru terlihat biasa saja; namun, sekali lagi unsur metafora akan kritik sosial yang menjadi kekuatan utama penceritaan khas Blomkamp menyelamatkan Elysium dari tag “basi.” Menjadikan sci-fi sebagai media penyampaian kritik akan stratifikasi sosial memang menjauhkan Elysium dari kesan drama, yang sebenarnya so Elysium’s. Namun pertempuran melawan penguasa adikuasa yang lalim tetaplah menyentuh.
Elysium is about Salvation
Membangun konflik dengan sangat reasonable adalah kebiasaan Blomkamp (yang terlihat di District 9); Elysium mengadopsinya dengan pendekatan yang baru, yaitu kita diajak mengikuti perjuangan protagonis kita, Max dari awal sampai “akhir” (di District 9, kita mengikuti perjuangan Wikus van der Merwe, yang justru adalah karakter trigonis). Plot Elysium pun sangat cepat; namun sayangnya akhirnya Elysium memlih jalur yang terkesan ‘menggampangkan’, klise dan mudah dilupakan. Perjuangan Max, dengan baju penopang merk Kawasaki-nya memang menyentuh, namun menjelang 2/3 film, arah perjuangan itu segera bisa tertebak: kita akan diberi savior terbaru (istilahnya mesias baru).
Tapi tak perlu khawatir, plot super cepat Elysium diimbangi dengan aksi-aksi yang brutal. Cukup berani juga dengan menambahkan gimmick gore yang berlebihan untuk ukuran sci-fi. Pertempuran sengit antara Max dan Kruger juga sangat mengena dan klimaks– sangat memuaskan; apalagi Sharlto Copley, si anak emas Blomkamp mampu menghadirkan sosok Kruger yang sangat keji dan menyebalkan (seriously, he’s a prick!) ditambah aksen Eropa-nya yang mengintimidasi. Pertempuran ini berpotensi menjadi pertempuran melawan calon villain paling menyebalkan sepanjang 2013. Jadi, Elysium tetaplah memiliki daya tarik lewat jalur ini.
Mungkin Neill Blomkamp dengan budget raksasa pun masih belum bisa melampaui pencapaiannya di District 9, namun dengan Elysium, ia sudah menunjukkan trademark aslinya yang layak kita tunggu lagi kelak.
TITLE: Elysium
GENRE: Drama | Action | Sci-fi
DIRECTOR & WRITER: Neill Blomkamp
CAST: Matt Damon, Jodie Foster, Sharlto Copley, Alice Braga, Wagner Moura
RATING:
Leave a Reply