READ THIS REVIEW IN:
Bukan pilihan peran yang dipilih Daniel Radcliffe pasca Harry Potter yang mengejutkan, namun, usahanya untuk melucuti tampilan Hogwarts-nya dan tampil sebagai aktor sungguhanlah yang layak diapresiasi. Akting Rated-R-nya sebagai Allen Ginsberg muda dalam drama tentang Beat Generation, Kill Your Darlings, tidak terlalu “membebaskannya” dari pengaruh Hogwarts; namun, keputusannya untuk kembali ke jalur fantasy dalam Horns-lah yang menurut saya adalah titik kulminasinya. Berkolaborasi dengan Alexandre Aja (sutradara film exploitation super menyenangkan a la Haute Tension dan Piranha 3D) dalam adaptasi novel karya Joe Hill (putra Stephen King), Radcliffe berhasil melakukan clean slate akan status Harry Potter-nya. Standing ovation.
Dengan mengetahui reputasi Aja dan Radcliffe yang sama sekali bertolak belakang, cukup mengejutkan juga kalau ternyata Horns adalah romance-thriller (yang premisnya mirip romance-horror Asia klasik). Radcliffe memerankan Igantius “Ig/Iggy” Perrish, seorang pemuda yang dituduh membunuh kekasihnya (Juno Temple). Dalam titik nadirnya dibenci seluruh penghuni kota dan media lokal, ia menemukan suatu hal yang bahkan lebih aneh dari tuduhan padanya—tanduk setan tumbuh di keningnya. Aneh tapi nyata, tanduk itu memberinya kekuatan untuk memanipulasi orang lain menyelami sisi tergelap mereka. Dengan kemampuan yang entah berkah atau kutukan ini, Ig mencoba mencari kebenaran tentang kematian kekasihnya.
Dengan mengesampingkan kualitas anti-hero serta formula revenge-thriller di film ini, Horns sebenarnya adalah sebuah drama romantis yang dibalut kisah detektif klasik. Kisah whodunit supranatural dalam Horns memakai “jasa” flashback dengan bantuan tanduk setan Ig—yang terasa klise. Twistnya sudah tercium di pertengahan plot yang sebenarnya sangat tipis jika tanduknya dihilangkan. Hanya kayanya film ini akan metafora biblikal sebagai simbolisme di dalamnyalah yang menahan saya sampai akhir film.
Akting Radcliffe dalam memerankan Ig sangat cool—mungkin inilah peran terkerennya pasca keluar dari Hogwarts. Sementara itu, penyutradaraan Aja sekali lagi berhasil menghadirkan “roller-coasting” mood yang keren. Masalahnya, plot Horns tidaklah seorisinal premisnya. Skripnya gagal memanifestasikan makna ‘tanduk’ di film ini—menjadikan film ini suatu usaha yang banal dalam mendewakan premisnya. Namun, setidaknya Radcliffe dan Aja sukses melakukan ‘great escape‘ dari film-film tradisional mereka.
Leave a Reply