Review Nina Forever: Kisah cinta segitiga dan problematika moving on belum pernah digambarkan se-sexy dan se-gory ini. Hanya dalam Nina Forever – debut film panjang Blaine bersaudara – perasaan ‘dihantui’ oleh mantan pacar ditampilkan secara literal namun penuh alegori.
Siapa menyangka bila setiap kali Rob (Cian Barry) dan kekasih barunya, Holly (Abigail Hardingham), hendak bercinta, Nina (Fiona O’Shaughnessy) – mantan pacar Rob yang tewas dalam sebuah kecelakaan lalu lintas – tiba-tiba muncul dari balik selimut, lengkap dengan luka-luka dan tulang yang patah sambil bermandikan darah segar? Apakah kemunculan Nina membuat kedua pasangan ini turned off atau sebaliknya? Apakah Nina Forever film horror, ataukah ini film black comedy yang sangat pahit? Semua pertanyaan ini hanya akan terjawab ketika menyaksikannya dengan mata kepala sendiri.
Yang jelas, Nina Forever adalah sebuah alegori yang cerdas atas isu yang sebenarnya cukup klise yaitu perasaan bersalah. Sulitnya Rob untuk moving on dari Nina dilandasi perasaan bersalahnya yang begitu dalam – kepada Nina dan kepada keluarganya (bahkan kepada dirinya sendiri). Pernah ia mencoba bunuh diri namun gagal; justru luka-luka yang dialaminya karena percobaan bunuh diri itulah yang menuntunnya kepada Holly.
Holly sendiri adalah seorang figur perempuan yang unik dan cenderung quirky dengan usianya yang baru 19 tahun. Ketika pertama kali Nina muncul dalam hidupnya, ia cukup shock; namun, usahanya untuk menerima kehadiran Nina dalam pertemuan selanjutnya membawa Nina Forever ke ranah yang tak terpetakan sebelumnya: ranah emosional yang cukup membuat frustasi.
Nina seolah tak ingin meninggalkan Rob meskipun Rob dan Holly telah mencoba reasoning dengan berbagai cara. Mulai dari ‘menghormatinya’ dengan memberikan monumen baginya sampai membuang semua hal yang dapat memicu kenangan tentangnya telah dilakukan namun Nina bergeming dengan hanya berkilah “I don’t want that.” Pengorbanan Holly seolah sama sekali tak bermakna; bahkan tersirat bahwa Rob-lah yang tak pernah ingin Nina pergi.
Sutradara Ben dan Chris Blaine seolah nyaman dalam memain-mainkan emosi penontonnya melalui tarik ulur sengit itu. Berfokus pada pengembangan emosi dan menyederhanakan hal lainnya terbukti memberi kesan ‘haunting’ yang mendalam. Diimbangi dengan tone yang agak kelam dan scoring yang cukup tenang, Nina Forever hanya ingin berfokus pada 3 karakter utamanya saja. Ada passion yang nyata tergambar dari penampilan tiga pemain utamanya yang membuat kegetiran situasi ini terasa nyata (literally dan non-literally). Ketiganya, terutama Abigail Hardingham, memang tak menampilkan sesuatu yang besar; namun kesederhanaan mereka itulah yang justru ‘menghantui’ bagaikan tatapan mata Holly yang terasa lebih kelam daripada reanimated Nina.
Dengan treatment yang dingin tersebut, Nina Forever terasa bagaikan sebuah pengalaman yang personal dan mudah untuk relatable. Meskipun digambarkan dengan sexy dan stylish, film ini seolah menegaskan bahwa moving on dan living with the fact tetaplah suatu quest yang sulit bahkan dalam fase hidup apapun. Siapapun yang pernah punya masalah dengan moving on pasti akan lebih mudah untuk bersimpati pada karakternya, karena pada akhirnya Nina Forever sukses menarik simpati penontonnya dengan kerendahan hatinya.
[imdb style=”transparent”]tt2885628[/imdb]
Leave a Reply