Review The Handmaiden: Park Chan-wook kembali menyutradarai film berbahasa Korea, pasca debut Hollywood-nya lewat Stoker, dengan sebuah kisah erotis yang tak hanya brilian namun juga kontroversial: The Handmaiden (a.k.a Ahgassi).
Mengadopsi (instead of sekedar “mengadaptasi”) novel ero-thriller Sarah Waters, Fingersmith, film ini berkisah tentang seorang gadis pencopet yang menyamar menjadi pembantu seorang ahgassi (lady). Semua trademark Chan-wook yang dinanti-nanti tumpah ruah di sini – mulai dari fetish-nya terhadap darah, keseksian visualnya, hingga tumpukan twist-nya – menjadikannya karya Chan-wook terkompleks dan tersegar, so far.
The Handmaiden membuktikan transliterasi bebas nan cerdas Chan-wook dalam mengadaptasi suatu karya. Setting Victorian-nya dipindah ke era kolonialisme Jepang (yang pada saat bersamaan tengah tergila-gila pengaruh baroque yang luar biasa) dengan penuh presisi. Ketahuilah, segala macam imagery sexism yang tabu serta budaya erotisisme yang diusung seolah lebih “cocok” untuk setting Chan-wook daripada novel aslinya.
Transliterasi Chan-wook ini mempertahankan struktur 3 bagian Fingersmith yang masing-masing berujung dengan twist menohok. Namun, Chan-wook memilih untuk memodifikasi struktur ini dengan kebebasan yang “membebaskan” sehingga memberi kedalaman yang baru terhadap kisahnya. Pada akhirnya, bukan twist-nya yang mencuri perhatian, namun cara tuturnya yang banyak ‘bercerita’ alih-alih menjelaskan.
Sepertiga awal cerita dinarasikan oleh Sook-hee (Kim Tae-ri), gadis yatim piatu yang dibesarkan oleh pencopet. Ia terlibat dalam sebuah skenario besar dengan con-artist Korea yang menyamar menjadi bangsawan Jepang, Count Fujiwara (Ha Jung-woo). Tujuan mereka adalah menggoda seorang ahgassi Jepang, Hideko (Kim Min-hee), yang kaya raya namun hidup dalam asuhan paman eksentriknya, Kouzuki (Cho Jin-woong). Fujiawara berniat menikahinya dan kemudian memasukannya ke rumah sakit jiwa untuk mengklaim semua harta kekayaan perempuan malang ini.
Di bagian inilah, Chan-wook memamerkan kepiawaiannya memenuhi sudut layar dengan visual yang mengagumkan serta detail yang begitu menggoda. Belum lagi perhatian Chan-wook terhadap detail yang mendasari hubungan unik Sook-hee yang naif dan sederhana dengan Hideko yang cantik dan anggun bak boneka porselen. Chemistry Tae-ri dan Min-hee serta transformasi karakter mereka on-screen adalah sajian utamanya, yang dihias dengan garnish visual yang seksi, yang memuncak dalam sebuah klimaks favorit fan Chan-wook.
Bagian tengah cerita dinarasikan oleh Hideko. Bagian yang dimulai pasca twist besar yang mengakhiri sepertiga awal cerita ini masih memegang beberapa poin dari plot asli Fingersmith, namun dengan efektif membuang satu poin (yang juga adalah twist besar) yang sejujurnya terlalu mengada-ada dan sinetronik.
Inilah bagian “terkotor” The Handmaiden; melibatkan literatur erotis yang jadi hobi tersendiri paman Hideko, Kouzuki, dan berbagai fetishism yang berbahaya. Bagian tengahan ini banyak mengungkap masa lalu Hideko yang penuh trauma, serta “pekerjaan”-nya yang quirky, yang membentuk motivasinya. Percayalah, pada akhir bagian tengahan ini, semua perhatian akan tertuju pada transformasi kedua protagonis perempuannya menjadi sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya. Panas. Sengit. Tapi simpatik.
Sepertiga akhir film adalah modifikasi besar-besaran Chan-wook terhadap jalan cerita The Handmaiden. Menghadirkan POV baru, yaitu dari sudut pandang Fujiwara, babak akhir ini mungkin bisa membuat fans Chan-wook bersorak-sorak. Twist and turn serta parade grotesque yang berdarah-darah (mungkin mampu menghadirkan beberapa nostalgia terhadap karya Chan-wook yang sudah-sudah) seolah menghadirkan karya feel-good yang sudah ditunggu-tunggu.
The Handmaiden memang tak banyak menampilkan kolaborator on-screen Chan-wook; seolah ia ingin membersihkan paletnya dengan wajah-wajah baru. Hasilnya adalah “penemuan” Kim Tae-ri, sebuah gem luar biasa—penuh kepercayaan diri dan keberanian—yang tak canggung beradu layar dengan Ha Jung-woo maupun Kim Min-hee.
Reuni Chan-wook dengan Chung Chung-hoon memberi garansi mewahnya visual The Handmaiden yang dipenuhi presisi terhadap skema mise-en-scene Chan-wook ditambah sapuan-sapuan indah kamera Chung-hoon (yang tahun sebelumnya juga menghadirkan keindahan serupa dalam Me and Earl & The Dying Girl). Elegan dan seksi mungkin dua kata yang tepat untuk menggambarkan hasil kolaborasi ini.
Lewat The Handmaiden, Park Chan-wook memutuskan stigma violent terhadapnya dan justru memberikan tamparan ‘kinky’ yang keras sebagai balasannya. Ia pun kembali membuktikan bahwa adaptasi karya sastra bisa saja menjadi lebih seksi daripada aslinya, seperti yang pernah ia lakukan dengan Oldboy dan Thirst. Dua setengah jam bisa jadi kepanjangan, namun kisah ero-thriller yang seksi ini bagaikan tamparan kinky bagi para fans Park Chan-wook; terasa aneh dan menyakitkan di awal, namun tak pernah bisa ditolak.
[imdb style=”transparent”]tt4016934[/imdb]
Leave a Reply