Review: ‘Haunting’ mungkin kata paling positif untuk mendeskripsikan Elle; sementara ‘disturbing’ paling negatif. Setidaknya, dua kesan itulah yang ingin dihadirkan Paul Verhoeven dalam comebacknya; ia menolak membiarkan penontonnya merasa tenang ketika hanyut dalam hidup seorang wanita tangguh berwujud Isabelle Huppert.
Elle dibuka dengan sebuah scene grotesk, kita dipaksa menyaksikan tatapan kosong seekor kucing yang menyaksikan majikannya diperkosa dengan brutal oleh sosok misterius bertopeng ski. Scene itu sendiri tanpa tedeng aling-aling dan mencapai tahap visceral. Namun, yang lebih mengenaskan adalah perilaku sang korban pasca kejadian itu. Tak terlihat ada kejijikan; taka da penyesalan; namun ia juga tak terlihat menikmatinya. Semuanya dibiarkan ambigu.
Wanita itu adalah Michèle (Isabelle Huppert penuh aura kebintangan), wanita independen yang dingin; tipe wanita yang mendominasi dan mengintimidasi. Ia memperlakukan semua orang sama saja; entah karyawannya di sebuah perusahaan video game maupun orang-orang terdekatnya, semuanya diperlakukan dengan getir.
READ: Elle review in English!
Selain intens berkomunikasi dengan karyawannya, hidup Michèle bjuga erkutat dengan orang-orang terdekatnya – mulai dari sahabat yang suaminya berselingkuh; mantan suami yang tengah menjajaki kekasih baru; anak manja yang kesulitan tinggal bersama kekasihnya yang tengah hamil; tetangganya, seorang Katholik taat dengan suami bergaya Clark Kent; serta ibunya yang masih binal.
Elle (2016) – Isabelle Huppert | Image via IMDbReaksi Michèle pasca kejadian tak menyenangkan itu sulit dimengerti. Dia memang melakukan medical check-up, namun ia menolak untuk melibatkan polisi dan media karena ia takut sesuatu dari masa lalunya kembali menyeruak. Alih-alih, dia memilih untuk bermain kucing-kucingan dengan pemerkosanya yang ternyata belum kapok; sebuah keputusan yang justru mengungkap sebuah permainan yang jauh lebih berbahaya, yang ternyata telah ia mainkan selama ini. Pemerkosaan tadi ternyata hanyalah sebuah pelatuk dari kegilaan yang lebih mengganggu mental.
Di atas kertas, Elle terlihat lebih mumpuni kalau dieksekusi sebagai film revenge-thriller ber-setting Perancis (yang sudah terkenal demeanor); tapi di layar, Paul Verhoeven justru menjadikannya filmnya paling Verhoeven. Sang sutradara justru menjadikannya sebuah drama dengan subject matter yang membesarkan namanya lewat Basic Instinct (1992), Showgirl yang notorious (1995) serta Black Book (2006), lengkap dengan trademarknya berupa coverage media serta simbolisme Kristiani.
Film ini sangat disturbing in the finest way Verhoeven could do. Tak menampilkan adegan gore dengan intensitas tinggi maupun kekerasan yang over-stylized, Verhoeven menghadirkan kekerasan yang lebih elegan selagi menghadirkan drama yang menganggu pikiran penontonnya. Sang sutradara sekaligus provokator ini berkali-kali melampaui zona nyamannya ketika ia dengan sengaja menyenggol batas suci antara woman empowerment dengan misogini. Bagian inilah yang menjadi concern terpenting saya – bukanlah adegan kekerasan maupun adegan seks yang eksplisit. Bagian inilah yang memicu munculnya kata ‘haunting’ yang saya pakai untuk mendeskripsikan Elle.
Belief manapun yang dianut (entah woman empowerment atau misogini), pada akhirnya Elle hanya akan menghadirkan perdebatan tanpa akhir.
Elle (2016) – Isabelle Huppert | Image via IMDbPlotnya bisa jadi memang penuh kontroversi dan banyak elemen di dalamnya yang memecah pendapat, ada satu elemen yang mutlak, yaitu penampilan luar biasa Isabelle Huppert. Mengambil alih sebagian besar screen time dengan wajahnya, Huppert berhasil menampilkan sesosok karakter yang sulit dimengerti. Michèle seperti karakter yang tak muncul dalam kehidupan nyata; karakternya tidak terinspirasi dari apapun.
READ: Elle review in English!
Verhoeven memang mampu menghadirkan atmosfer mencekam dan tidak nyaman dalam Elle yang konstan menggempur penonton selama durasinya; namun, Huppert-lah yang menaikkan bar ‘ketidak nyamanan’ itu ke tingkat yang lebih tinggi. Keberadaan Michèle sendiri adalah definisi ‘haunting.’ Kemunculannya di layar, kapan pun itu, perasaan tak nyaman luar biasa muncul, seolah-olah danger follows her or danger becomes her. Seolah bahaya memang selalu mengincarnya, atau sebenarnya, dia sendirikah sang bahaya itu? Yang jelas, perasaan itu nyata dan meminta atensi setiap saat.
Verdict akhirnya, dengan segala elemen di dalamnya, Elle sangatlah disturbing, lebih tepatnya, haunting. Film ini tidak sempurna memang, bahkan sangat visceral dan tanpa malu-malu, tanpa tedeng aling-aling. Yang jelas, ini adalah panggung pertunjukkan Isabelle Huppert dalam menampilkan suatu peran yang belum pernah dihadirkan siapapun. Elle adalah comeback yang tuntas dari sang provokator, Paul Verhoeven.
Elle (2016)
Drama, Thriller Directed by: Paul Verhoeven Written by: David Birke Starred by: Isabelle Huppert, Laurent Lafitte, Anne Consigny, Christian Berkel Runtime: 91 mins Rated R
Review ini ditulis berdasarkan Elle versi screening BALINALE 2016.
Leave a Reply