Pada tahun 2049—30 tahun setelah kejadian di Blade Runner (1982) yang pertama, sebuah kisah ‘Blade Runner’ baru dimulai. Kisah dimulai ketika seorang polisi replicant, Officer K (Ryan Gosling), mempensiunkan seorang replicant model lama; pada saat itu juga, ia telah mengungkap sebuah misteri lama
Blade Runner 2049 hadir sebagai lanjutan kisah film originalnya, yang memadu padankan kisah detektif dengan sci-fi kental dalam menjawab pertanyaan ‘fisik’ maupun filosofis yang ditinggalkan film pertamanya. Sekuel cyberpunk arahan Denis Villeneuve ini dengan sengaja namun subtil merefleksikan plot dan elemen general dalam film Ridley Scott. Namun, pada saat yang bersamaan, film ini menyelam ke dalam teritori yang sama sekali berbeda. Semuanya itu terangkum dalam suatu karya yang dapat dibilang sebagai 164 menit super mengagumkan yang pernah dibuat.
Highlight Blade Runner 2049 adalah kolaborasi megah Villeneuve (Arrival) dengan salah satu sinematografer andalannya, Roger Deakins (Sicario, Prisoners) dalam menghadirkan dunia dystopia yang exquisite dari naskah Hampton Fancher (Blade Runner) serta Michael Green (penulis naskah paling mentereng 2017 ini dengan Logan, American Gods, Alien: Covenant serta menyusul Murder on the Orient Express). Tak hanya sekedar berisi materi one-perfect shot, dunia visual yang dihadirkan juga berperan sentral dalam pembangunan cerita yang terasa sangat ‘Blade Runner,’ meskipun scoring Hans Zimmer dan Benjamin Wallfisch belum mampu menyamai pencapaian Vangelis di film originalnya.
2049 hadir dengan tempo yang amat pelan, seolah mengajak penontonnya berkontemplasi atau bermeditasi. Villeneuve lebih banyak mengungkapkan detail ‘dunia’-nya lewat ekspresi dibandingkan eksposisi. Sudah barang tentu penggemar filmografi Villeneuve dan/atau Blade Runner mampu mengantisipasi hal tersebut, karena bisa dibilang itulah gripe terbesar film ini bagi penonton kasual.
Dalam menjalankan peran utamanya, Ryan Gosling kembali menghadirkan kesunyian yang pernah dihadirkannya dalam Drive sekaligus menunjukkan persona Sad Gosling (Lars and the Real Girl dan La La Land) dalam menghadirkan peran robotiknya, yang justru terasa lebih sentimental dibandingkan peran manusia mana pun di film ini. Menariknya, investigasi K sedikit banyak mencerminkan misi Rick Deckard di film pertamanya. Deckard (Harrison Ford) sendiri hadir bukan sekedar untuk reuni; ia hadir dengan tujuan yang lebih besar, yang membuatnya harus berhadapan dengan K sekaligus menyinggung pertanyaan lama mengenai statusnya yang sudah lama dormant. Dalam sekuel ini, Ford hadir dalam nuansa yang berbeda dengan reuni-reuninya yang lain (contohnya di Indiana Jones and the Kingdom of Crystal Skulls atau yang terbaru, Star Wars: The Force Awakens).
Cast lain yang tampil di 2049 makin membuktikan bahwa sekuel ini, meskipun tampil sebagai stand-alone, tetaplah hadir dalam baying-bayang prekuelnya. Niander Wallace-nya Jared Leto tampil sebagai inkarnasi Tyrell yang lebih god-obsessed; sementara Luv-nya Sylvia Hoeks punya banyak kesamaan dengan Roy Batty-nya Rutger Hauer (dan, entah kebetulan atau tidak, keduanya dari aktor Belanda). Bahkan, figur Rachael dari Blade Runner bisa ditemukan dalam wujud Joi (Ana de Armas) meskipun medianya berbeda.
Namun, sekalipun 2049 banyak meminjam elemen dari film originalnya dan mengkonstruksikannya ulang menjadi bangunan yang baru, sekuel ini sangatlah mudah diikuti.Villeneuve menuntun penonton, bahkan yang belum pernah tahu franchise Blade Runner, untuk masuk ke dalam dunianya dengan subtil melalui bantuan naskah yang super rapi. Penonton hanya perlu waspada dengan durasi dan tempo film ini untuk dapat menikmati salah satu sekuel paling memuaskan yang pernah ada ini.
Leave a Reply