Review: Meskipun trailer-nya menyiratkan bahwa Atomic Blonde akan menjadi John Wick versi perempuan (perlu dicatat bahwa sutradara JW, Chad Stahelski dan David Leitch, sudah pisah ranjang—Stahelski lanjut dengan John Wick Chapter 2, sementara Leitch menggawangi film ini), film aksi tidak lantas menjadi carbon copy John Wick ber-kromosom xx. Lorraine Broughton, karakter Charlize Theron, di film ini terasa lebih seperti ‘Bond’ daripada ‘Wick’, lebih tepatnya blonde… dan atomic.
Ber-setting pada akhir dekade 80-an, di ujung Perang Dingin, di Berlin (lengkap dengan Tembok Berlin-nya yang masih kokoh), Lorraine, seorang agen M16, dikirim untuk sebuah misi mematikan. Teorinya, misi Lorraine hanyalah menginvestigasi kematian sesama agen sekaligus merebut daftar berisi kumpulan agen ganda. Namun, kenyataannya, misi ini juga melibatkan banyak perkelahian brutal, adu tembak yang garang, pengkhianatan yang dingin serta perjalanan seksual, yang dipastikan mampu memuaskan para pecinta aksi.
Atomic Blonde (2017) – Charlize Theron | Image via themoviedb
Atomic Blonde mungkin bukan tipe film full-action seperti saudara jauhnya, John Wick. Temponya terlalu lambat dalam mencapai mode ini, namun film ini sangat tegas dalam menjalankan kodratnya sebagai film spionase yang memegang teguh prinsip, “do not trust anyone.” Spy game ini langsung melemparkan penonton ke tengah belantara spionase penuh rahasia dan pengkhianatan. Apabila Anda terjebak dalam plot-nya yang berbelit, itu wajar. Selain karena memang itulah inti film ini, editingnya yang agak kacau juga berkontribusi dalam menghadirkan tujuan itu. Ingat, kalimat barusan bukanlah pujian.
Untungnya, aksi stunt-nya brutal dan menggebu-gebu. Ada satu adegan di mana Lorraine beraksi melawan musuh dengan latar belakang film Tarkovsky, Stalker, yang secara visual mirip dengan salah satu adehan Showdown at House of Blue Leaves dalam Kill Bill-nya Tarantino. Adegan ini bukanlah adegan besar, namun dari sini kita menyaksikan bahwa musuh-musuh Lorraine tak segan-segan membuat perempuan ini babak belur. Selain adegan tersebut, ada satu adegan lagi yang mungkin pantas dinobatkan sebagai adegan aksi terbaik tahun ini. Ada momen di kala Lorraine harus kabur dari parade payung hitam sebelum akhirnya terjebak dalam sebuah gedung apartemen sebelum berakhir dengan kejar-kejaran mobil; semuanya itu dirajut hanya dalam satu take. Gila!
Di antara spy game yang kacau balau dan rentetan adegan aksi yang gila tersebut, Theron hadir dengan penampilan penuh komitmen sebagai penyeimbang. Karakternya memang dingin dan selalu tampil memesona; namun, ia bukanlah sesosok yang kebal. Berkali-kali Lorraine digambarkan babak belur dan terpaksa merawat diri, namun Theron berhasil membuat Lorraine seolah tak memedulikan semua hal itu. Performanya yang meyakinkan ditambah komitmennya dalam menghadirkan berbagai adegan ikonik menjadikannya pusat Atomic Blonde tanpa diragukan lagi.
Atomic Blonde (2017) – Charlize Theron | Image via themoviedb
Meskipun spy game-nya yang kotor meredam potensi ledakan yang dapat dihadirkan, Atomic Blonde sama sekali tidak mengecewakan. Aksinya yang terbatas bergema keras melebihi iringan tembang 80-an (mulai dari Depeche Mode, Queen sampai A Flock of Seagulls) selagi Lorraine menyelesaikan misi sekaligus menghajar siapapun yang menghalanginya. Pesta aksi stylish ini sukses menghadirkan salah satu femme fatale terbrutal dalam sejarah perfilman belakangan ini.
Atomic Blonde (2017)
Action, Thriller Sutradara: David Leitch Penulis: Kurt Johnstad Pemeran: Charlize Theron, James McAvoy, John Goodman Durasi: 115 mins Rated R
IMDb
2 thoughts on “Atomic Blonde (2017) – Review”