Midsommar hadir untuk mengkultuskan nama Ari Aster sebagai salah satu pencerita horror paling sahih dewasa ini. Dibintangi Florence Pugh dan Jack Reynor, film ini mengisahkan tentang pasangan yang hubungannya rumit ini bersama rekan-rekannya saat mereka diundang menghadiri perayaan summer solstice di Swedia. Terlihat riang ria dalam rupanya, Midsommar menyimpan kengerian yang seolah selalu minta diperhatikan (simak review-nya di sini). Pelan-pelan, film ini menggerogoti penontonnya dengan berbagai imageri yang mengerikan kalau tidak memabukkan. Yang paling mengena dari horror Aster yang satu ini adalah aftertaste-nya. Susah untuk segera move on dari film ini. Untuk itu, Sinek-Talk by sinekdoks mempersembahkan sebuah list 8 film untuk ditonton before atau after Midsommar.
Silakan menikmati dan berkomentar.
01. Hereditary (Ari Aster, 2017)
Film yang paling wajib ditonton sebelum atau sesudah Midsommar adalah “kakaknya”, Hereditary.
Midsommar seolah menjadi ‘yang’ jika Hereditary adalah ‘yin.’ Yang satu ber-setting dalam kegelapan, kemurungan yang seolah-olah tak pernah berhenti; sementara yang lain, setting-nya di bawah hingar bingar sinar matahari dengan warna-warna cerah. Namun keduanya justru sangat mirip. Ari Aster paham betul akan ini. Mulai dari tema tentang kehilangan, tentang komunitas rahasia, sampai-sampai ke bebunyian onomatope yang aneh, kamu akan terkejut melihat betapa miripnya kedua film ini. Persis seperti kakak beradik yang berbeda fisik namun sifatnya mirip.
02. The Wicker Man (Robin Hardy, 1973)
Banyak hal yang kamu lihat di The Wicker Man versi original a.k.a. British (atau versi remake Amerika-nya yang dibintangi Nicolas Cage juga sama saja) yang bisa kamu temukan juga di Midsommar, terlebih soal kandungan okultismenya. Dalam Wicker Man, seorang polisi (Edward Woodward) yang tengah menginvestigasi hilangnya seorang gadis di sebuah pulau terpencil. Sebagai seorang asing di pulau aneh dengan penghuni yang bertingkah tidak wajar pula, perasaan cemas dijamin akan merundungmu persis seperti saat rombongan Florence Pugh dkk masuk ke perimeter, Hårga.
03. Apostle (Gareth Evans, 2018)
Apostle karya sutradara The Raid, Gareth Evans, sebenarnya ‘hanyalah’ versi brutal dan melek dari The Wicker Man. Ceritanya tentang seorang kakak (diperankan oleh Dan Stevens) yang menyusup sebuah pulau yang dihuni suatu sekte untuk menyelamatkan adiknya. Beberapa adegan brutal yang menyakitkan bahkan untuk dilihat dicampur dengan tema yang serupa membuat film ini layak ditonton in conjunction with Midsommar.
04. A Field in England (Ben Wheatley, 2013)
Ber-setting di sebuah padang rumput di tengah Perang Saudara di Inggris, A Field in England jelas berbeda dengan film-film Ben Wheatley lainnya. Ada kekuatan tak terlihat yang seolah mengancam para karakternya padahal settingnya jelas-jelas di padang luas saat siang-siang bolong. Benang merahnya adalah pengalaman trippy yang dihadirkan. Film ini dilabeli sebagai folk-horror, tapi jangan terkejut jika script-nya dibumbui dengan rasa komedi deadpan. Banyak elemen yang dihadirkan, tetapi pengaruh psikedeliknya yang terasa.
05. Insomnia (Erik Skjoldbjærg, 1997)
Lagi-lagi soal investigasi. Insomnia menampilkan seorang detektif yang dihantui perasaan bersalah. Perasaannya direpresentasikan dengan insomnia yang ia alami. Setting-nya adalah di sebuah kota kecil di Norwegia yang mataharinya bersinar bahkan sampai tengah malam. Benang merahnya dengan Midsommar sebenarnya hanya urusan jam kerja mataharinya; tapi, film ini juga menghadirkan studi karakter yang menarik. Christopher Nolan pernah me-remake-nya pada tahun 2002, tapi versi 1997 ini tetap menjadi versi yang disarankan karena… kedekatan geografisnya.
06. Mandy (Panos Cosmatos, 2018)
Occult, psychedelic, dreamlike, trippy, visceral, seducing, and the list goes on. Untuk urusan film yang menyangkut kata-kata sifat tersebut, Mandy karya Panos Cosmatos adalah yang terbaik dewasa ini. Temukan berapa banyak term deskriptif tersebut yang bisa juga kamu sematkan pada Midsommar. Bahkan, ketika tatapan Andrea Riseborough di film ini serta ekspresi raungan Florence Pugh di Midsommar kamu pigura dan taruh di ruang tamu, orang akan mengiramu sebagai anggota sekte pagan.
07. In Fear (Jeremy Lovering, 2013)
Hubungan romansa memang susah dimengerti.Dalam review Midsommar, sinekdoks menyebut film ini sebagai film breakup yang mengakhiri segala film breakup lainnya. In Fear kurang lebih juga menggambarkan peliknya hubungan ini. Sepasang kekasih memutuskan untuk menghadiri sebuah festival musik. Celakanya perjalanan mereka justru dipenuhi berbagai halangan yang tak hanya mengancam diri mereka namun juga hubungan mereka. Benang merah yang menghubungkan film ini dengan agaimana film ini menggambarkan terjalnya hubungan.
08. The Invitation (Karyn Kusama, 2015)
Logan Marshall-Green tampil sebagai seorang duda yang perasaan hatinya tidak stabil dalam psychological thriller Karyn Kusama ini. Meskipun masih belum sembuh juga dukanya, ia menghadiri pesta yang diadakan mantan istrinya. Penuh kecurigaan dan ketidaktahuan, The Invitation banyak menyinggung soal upaya mengatasi duka—sebuah tema yang juga diangkat Midsommar—melalui penerimaan orang-orang yang memiliki perasaan yang sama.
Bonus:
Munchausen (Ari Aster, 2013) – Short
Film pendek Ari Aster ini (tonton di kanal VICE ini) menceritakan tentang seorang ibu yang mengidap sindrom Munchausen-by-proxy (MSP). Filmnya singkat dan cukup membuat begidik karena temanya yang ironis. Orang dengan MSP kerap memanipulasi gejala penyakit orang untuk mendapat perhatian atau agar merasa dibutuhkan. Percaya atau tidak, ada kekuatan-kekuatan di balik horror-nya Hereditary dan Midsommar yang seolah mengidap penyimpangan ini. Karakter-karakter dalam film panjang Aster sering dibuat merasa sakit dan memerlukan bantuan dari pihak lain, padahal itu semua adalah ulah pihak lain tersebut. Bedanya, pengidap sindrom Munchausen by proxy dalam film-film Aster bukanlah individual, melainkan komunal. Percayalah ini bukan cocoklogi.
Akhir kata, sinekdoks ucapkan terima kasih.
Selamat.
Leave a Reply