The Wolverine, IMHO, bisa menjadi film yang berpotensi besar memisahkan penontonnya menjadi “sangat benci” dan “suka” (cukup suka, not too much). Para penonton awam akan merasa tidak ada yang salah dengan film ini, sementara mereka yang sudah menyaksikan 5 film X-Men sebelumnya akan menganggap The Wolverine sebagai spine-off kecil dengan bonus besar. Jadi, review ini akan saya netralkan dengan opini pribadi saya saja.
Behind the Wolverine
Well, The Wolverine memang tidak menyajikan premis yang luar biasa; dari judulnya saja sudah diketahui bahwa kita akan mengikuti perjalanan satu-satunya tokoh yang selalu muncul dalam film X-Men ini. Ekspektasi awal memang tidak berlebihan, karena setahu saya, semua intrik dalam hidup Wolverine sudah diekspos mati-matian di X-Men Origins: Wolverine. Untunglah film ini tidak kehabisan daya tariknya, why? Jika di X-Men Origins: Wolverine, kita disuguhi kisah masa lalu Logan sebelum di X-Men, di sini kita disuguhi kisah pasca kejadian tragis yang disbanding anggota X-Men, terlebih sepeninggal Profesor Xavier dan kolega lain, yang membuat karakter Wolverine menjadi sangat desperate. Bahkan ia masih dihantui oleh bayangan Jean Grey, pasangan affair-nya yang ia bunuh sendiri. Background yang (lagi-lagi) gelap bagi sang jagoan.
Namun, ternyata Logan (yang masih diperankan oleh Hugh Jackman) belum habis, Yashida (Hal Yamanouchi), seorang yang ia selamatkan saat bom Nagasaki (Perang Dunia II) mengundangnya ke Jepang, untuk memberinya sesuatu sekaligus “berpamitan.” Dari situlah, Logan bertemu beberapa orang yang “membangkitkan” jiwa Wolverine-nya, sekaligus menciptakan atmosfer baku hantam di film ini: Yukio (Rila Fukushima), cewek freak yang menawarkan diri menjadi bodyguard Logan, Mariko (Tao Okamoto), cucu Yashida yang sepertinya ada crush dengan Logan, serta Dr. Green alias Viper (Svetlana Khodchenka), mutan musuh yang berbahaya.
Slowverine!
Kisah The Wolverine berjalan sangat lambat di 1 jam pertama. Padahal durasi film ini 2 jam lebih (apalagi versi home cinema-nya yang ditambah 12 menit adegan gore). Yang membuat film ini terasa lambat adalah minimnya adegan baku hantam di film sekelas “Wolverine”. Minim, bukan dalam artian sedikit, namun lebih dalam artian “meaningless” kecuali sebagai bukti kuatnya Wolverine saja. Menjelang tengah film, friksi sempat terjadi dan sebenarnya berpotensi membuat film ini epic, yaitu saat Wolverine kehilangan kemampuan menyembuhkan dirinya. See? I was thinking like, apa jadinya Wolverine tanpa ability ini. Namun, semacam ada blunder, saat battle-battle penting di pertengahan film justru ability ini kembali. So, what’s the point?
An Ultimate Cliche
Film ini juga terlihat sangat klise serta seolah-olah menggampangkan karakter selain Wolverine, dan parahnya menggampangkan Jepang sebagai setting utama film ini. Kecuali pamer tattoo para Yakuza, zirah para samurai, dan keahlian para ninja, praktis mereka hanya menjadi “bukti” keganasan Wolverine saja. Selain itu, beberapa karakter juga terlihat inkonsisten bahkan redundant. Ditambah lagi battle-battle yang klise, nothing new, dan predictable. Beruntungnya, James Mangold, sang sutradara menyimpan sedikit senjata kecil di bagian akhir film, termasuk cyborg samurai yang disainnya tidak mengecewakan (meskipun terlalu mirip musuh Thor) dan twist kecil di belakang. Fair enough.
Logan the Lovely
Logan benar-benar menjadi pecinta ulung. Lewat flashback yang dihadirkan, terlihat seberapa besar cinta Wolverine pada Jean Grey, yang notabene istri Cyclops (wth?), dan juga cintanya pada Kayla Silverfox (di X-Men Origins: Wolverine). Hebatnya, ia masih sempat-sempatnya having crush on Mariko, cucu rekannya. Wajar saja, film ini semacam satu chapter singkat biografi Logan, jadi ya bebas saja mendapat porsi semacam itu.
Why You Should Watch The Wolverine?
The Wolverine, IMO, bukan film yang masuk kategori wajib disaksikan. Namun, untuk pecinta film X-Men, mungkin ini bisa dianggap spine-off yang tidak kurang ajar, sekaligus JEMBATAN BESAR untuk film X-Men selanjutnya. Seperti yang saya bilang, ada rahasia besar di akhir film ini, gambaran sequel sekaligus reuni dengan X-Men yang pasti dirindukan. Kedua, yaitu Hugh Jackman factor; Hugh memperlihatkan tubuh paling menariknya di The Wolverine. Dalam film apapun, saya rasa inilah Hugh terlihat sangat good-looking. Ketiga, Tao Okamoto factor;; aktris Jepang kedua dalam bulan Juli ini yang mampu meng-ascend film Hollywood. Terdengar weird memang. Tapi… In conclusion, The Wolverine is a spine-off to say: WELCOME to X-Men: Days of Future Past.
TITLE: The Wolverine
GENRE: Action | Drama
DIRECTOR: James Mangold
CASTS: Hugh Jackman, Will Yun Lee, Tao Okamoto
RATING:
Leave a Reply