Ini bukan pertama kalinya Disney mengadaptasi lepas sebuah dongeng–paling dekat, pada tahun 2010 lalu, Disney sudah mengadaptasi kisah Rapunzel dari Grimm Brothers dalam Tangled. Kini, di penghujung tahun 2013, kisah The Snow Queen dari H.C. Andersen diadaptasi lepas dengan judul yang sekali lagi memakai past participle, Frozen.
Frozen berada di tangan yang tepat–itulah kata yang sama tepatnya untuk menggambarkan film animasi ini. Dikerjakan oleh penulis film geeky orisinil Wreck-It Ralph, Jennifer Lee, dengan duetnya, sang animator veteran Disney, Chris Buck (Tarzan), Frozen menjadi cerita animasi “hangat” yang cukup dalam namun tetap menghibur. Para pengisi suara yang sama “hangat”-nya: Kristen Bell (Forgetting Sarah Marshall), Idina Menzel (Enchanted), Jonathan Groff (Glee), Josh Gad (The Internship, pengisi suara Ice Age: Continental Drift), serta Alan Tudyk (si Tucker dalam Tucker and Dale vs Evil, perngisi suara King Candy di Wreck-It Ralph). Secara instan, Frozen adalah klise para princess Disney dengan pemutakhiran visual yang telah melampaui titik tertentu–yang dapat mencairkan kebekuan hati penontonnya.
Frozen sendiri berkisah tentang pencarian yang dilakukan Putri Anna (Kristen Bell) akan kakaknya, Putri Elsa (Idina Menzel). Putri Elsa yang baru saja dinobatkan menjadi ratu Arendelle kabur dan tanpa sengaja membekukan seluruh kerajaan dengan kemampuan “blessing-or-curse” yang dimilikinya sejak lahir. Semua itu terjadi ketika Anna meminta restu Elsa untuk menikahi Pangeran Hans (Santino Fontana) yang baru ditemuinya; sayangnya, hal itu justru membuka trauma masa kecilnya yang menyebabkan kekuatannya tak terkendali. Dengan bantuan seorang pencari es, Kristoff (Jonathan Groff), dan rusa sahabatnya, Sven, Anna harus menemukan kakaknya dan mengembalikan kerajaan seperti pemula.
Menonton Frozen akan mengembalikan ingatan penonton pada kisah-kisah Disney sebelumnya (kecuali Wreck-It Ralph, tentunya). Klise tentang Disney princess dan cinta sejatinya serta gimmick musical-nya memang masih menjadi daya tarik tertentu; namun, Frozen harusnya berterima kasih akan teknologi modern yang telah membantunya memoles berbagai efek dan kualitas 3D-nya. Peningkatan grafik serta pemanfaatan gimmick 3D berhasil menghidupkan berbagai setting dan musim di Frozen (terlebih di adegan-adegan bersalju). Sejauh ini, mungkin Frozen-lah film animasi 3D modern dengan gambar-gambar yang paling prima (dan mungkin layak dinobatkan sebagai best picture tahun ini).
Kehadiran Lee dalam kokpit penyutradaraan Frozen memberi dampak yang sangat positif. Dibekali kisah asli Andersen (pemasok ide utama film-film Disney) yang usianya sudah ratusan tahun, Lee mampu mengolahnya seperti saat ia mengolah highly-praised worknya di Wreck-It Ralph. Cerita aslinya ditambah pola kisah Disney princesses yang seragam tidak menghalangi kreasi Lee dalam mengembangkan karakternya. Elsa dan Anna jelas bukan karakter yang kosong–motif dan background mereka dikembangkan dengan halus. Hubungan Elsa dan Anna yang kuat dan dikembangkan dengan baik, mungkin bisa jadi terobosan baru dalam dunia Disney yang jarang menunjukkan hubungan 2 princesses mereka sendiri. Sementara karakter Prince Charming a la Hans juga tidak klise, tokoh partner Anna, Kristoff justru berkembang dengan pace yang luar biasa bersama Sven, rusanya. Pengaruh Lee yang juga sangat nampak adalah konflik yang direct dan tidak basa-basi, serta twistnya (yang memang tak terlalu besar namun menarik) yang memutarbalikkan mitos cinta sejati di dunia dongeng–sebuah twist yang sebenarnya mengingatkan saya akan twist di Wreck-It Ralph, namun dengan eksekusi yang berbeda. Well, jika Andersen serta Walt Disney masih hidup, mereka pasti akan terkejut dengan apa yang bisa Frozen lakukan dalam karakterisasi serta pola penceritaannya.
Namun yang paling mencuri perhatian justru bukanlah musik-musiknya yang senantiasa berisi word-play yang khas (seperti The Beauty and the Beast), tapi justru tokoh side-kick non-manusia kocak bernama Olaf. Boneka Salju konyol ini menjadi screen stealer yang sangat konyol–guyonannya tentang dua Sven dan musim panas sangat segar dan mengundang rotfl moment. To some extent, one-man show Olaf yang cerdas mampu menandingi kocaknya rombongan minions di Despicable Me 2 yang saya kira tak akan ada tandingannya di tahun ini. Tokoh side-kick sepertinya memang khas di dunia Disney, sekaligus menobatkan Frozen sebagai salah satu film dengan atribut Disney paling lengkap.
Jika ada yang kurang dari Frozen, mungkin orisinalitas. Tapi, adaptasi memang terbatas; penambahan atau pengurangan banyak hal akan mengurangi esensi aslinya. Jangan terlalu banyak dipikir, nikmati saja delicacy baru Disney ini–dalam 3D untuk kenikmatan menyaksikan grafis dan animasi yang “membekukan” ini. Ditemani animasi singkat Mickey Mouse berjudul ‘Get A Horse!‘, Frozen praktis layak untuk diberi kesempatan.
TITLE: Frozen
GENRE: Fantasy, Adventure, Family, Animation, Comedy, Musical
DIRECTORS: Jennifer Lee, Chris Buck
WRITERS: Jennifer Lee, Shane Morris
CASTS: Kristen Bell, Idina Menzel, Jonathan Groff, Josh Gad, Santino Fontana, Alan Tudyk
RATING:
Leave a Reply