Terlambat 3 hari dari deadline-nya, akhirnya post #3 dari serial What the Hell …oween! A Collaborative Post dari Sinekdoks dan Hzboy a.k.a. Hestia Istiviani ini akhirnya naik juga. Setelah mengulas dua film yang baru saja tayang di bioskop (Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children dan Blair Witch X The Blair Witch Project), di minggu ketiga ini, kami throw back ke beberapa tahun sebelumnya; kami mengulas We Are What We Are (2013), sebuah remake dari film Mexico berjudul sama.
Filmnya sendiri sebenarnya cukup menimbulkan buzz bagi para horror aficionado pada tahun 2013, namun skalanya yang kecil membuatnya mudah tertumpuk film-film lain di daftar must-watch, hingga kini ia tergali lagi. Filmnya sendiri cukup misterius, lihat saja posternya or judulnya. So, let’s see Hestia’s take.
Jujur sih, aku belum pernah mendengar judul film yang satu ini. Ketika mencoba untuk googling, ternyata We Are What We Are berawal dari sebuah film dari Meksiko. Namun, di-remake dengan kualitas sinematrografi yang lebih baik daripada yang aslinya. Membaca sinopsisnya saja sudah bikin penasaran. Maka, rasanya pilihan film di minggu ketiga ini rasanya asyik juga ya.
Secara garis besar, We Are What We Are bercerita tentang sebuah keluarga yang kemudian merasa terancam hanya karena sebuah badai yang menyerang kota. Berawal dari kematian sang ibu, kedua putrinya harus memikul tanggung jawab lebih awal dari yang seharusnya. Kecurigaan demi kecurigaan mulai bermunculan. Semakin dekat polisi menyelidiki, semakin menakutkan apa yang terdapat dalam keluarga Parker.
Exactly, like what I’ve done: concealing the plot tightly. Sumpah, film ini rawan sekali spoiler; membuka sedikit saja plot point-nya, keseruan menontonnya berkurang sangat drastis. Jadi cara yang terbaik untuk menikmatinya adalah: being dumb—tidak tahu apa-apa.
Menurutku, color tone yang dipakai sepanjang film memberikan kesan yang gloomy namun tidak terlalu gelap. Plotnya pun berjalan dengan sangat perlahan. Tapi bagusnya, film ini tidak membuat bosan. Malah sebaliknya, plot yang lambat itu membangun emosi penonton. Dari yang sekedar ingin tahu dengan apa yang sebenarnya disembunyikan oleh keluarga Parker hingga benar-benar penasaran, apa sih yang salah. Terus terang, film ini tidak terlalu memberikan kesan menakutkan. Deg-degan memang ada, tapi untuk sekedar menebak saja. Film ini juga tidak kayak dengan adegan-adegan yang mengagetkan. Dan ahya, jangan lupakan kalau adegan berdarah-darahnya cukup banyak. Tenang saja, tidak sampai membuat mual kok. Mungkin karena penonton sudah digiring pada penuturan cerita yang cenderung lambat, secara tidak sadar penonton juga termakan oleh dugaan bagaimana film ini berakhir. Dan TA-DA! Semua tebakannya salah! Bukankah menyenangkan menonton film horror dan bikin penasaran, eh berujung pada plot twist?
Pace-nya yang lamban dan perhatiannya kepada detail (terutama plot) sebenarnya memang bukan untuk membuat filmnya seram, tapi lebih pada menimbulkan perasaan tidak menyenangkan. Gore scene-nya sebenarnya tak terlalu banyak; tapi mostly kena sekali. Ngilu sekali rasanya. Oops, did I spoil anything when I said ‘gore’? Twist-nya pun sebenarnya tak terlalu besar, tapi ironi yang dihadirkannya terasa sangat pas.
To be honest, bagian yang paling menyeramkan dari film ini adalah ketika kedua putri Parkers, Rose dan Iris sudah mulai turun tangan untuk melakukan tanggung jawab yang sudah didelegasikan kepada mereka. Mereka masuk ke ruang bawah tanah dan menarik rantai yang membelenggu tawanannya. Hingga akhirnya, Iris-lah yang melakukannya untuk Rose. Gimana ya, aku sendiri orangnya suka nggak tegaan sebenarnya kalau nonton film yang ada adegan kekerasannya (termasuk film ini).
Yasalam. Adegan yang dimaksud di atas memang luar biasa efeknya. Ngilunya terasa, meskipun tak terlalu masif… bagi yang sudah biasa dengan film gore. Untuk yang tidak tegaan, adegan ini mungkin terasa terlalu visceral, meskipun sebenarnya masih ambang batas. Just saying.
Meskipun film ini banyak adegan kekerasan dan darah (tapi tidak sebanyak The Raid ataupun Killers kok), aku masih punya satu hal yang aku suka. Setidaknya, kesabaranku untuk mengikuti alur film yang lambat ini dibalaskan dengan ending yang ternyata sebuah plot twist. Sederhana. Tapi bikin tercengang juga.
Kok referensi adegan kekerasannya minimal ini? LOL. Tapi memang twist-nya mengena sekali. Seolah-olah menegasikan build up film ini sendiri.
Sedangkan, bagian yang paling bikin aku kesal adalah ketika seorang polisi muda yang akan membantu penyelidikan malah disingkirkan dengan mudahnya. Maksudku, The Parkers memang bukanlah sebuah keluarga yang seperti mayoritas keluarga kebanyakan. Aku kesal antara kebodohan si polisi untuk mengambil risiko tersebut dengan perasan mengapa harus seperti itu nasib si polisi. Iya. Bikin kesal.
Dumb plot seperti ini memang selalu menjadi ‘daya tarik’ film sejenis ini. Justru hook up yang ditimbulkan oleh narasi yang seolah-olah dibuat untuk pissing off penontonnya inilah yang membuat ‘horror’nya film ini tersampaikan. Buktinya? Di atas ini.
Lalu, apakah aku membayangkan menjadi bagian dari The Parkers? Tidak. Sama sekali aku merasa menjadi putri dari sebuah keluarga yang “berbeda” adalah sebuah kisah hidup yang menyenangkan. Mungkin aku akan lebih memilih untuk melarikan diri selagi ada kesempatan dan bilang saja kalau orang tuaku telah melakukan kekerasan padaku.
That’s a safe bet! Kenapa tidak mencoba untuk ikut menjadi “beda” juga? Normal is boring, anyway. LOL.
Kesimpulannya, aku mengapresiasi bagaimana film ini memiliki alur yang lambat namun mampu membangun emosi dan rasa penasaran. Plus, ditutup dengan sebuah adegan yang cukup mengagetkan. Maka, aku tidak pelit memberikan bintang: 4/5.
Akhirnya dia tidak pelit dan score-nya kebetulan sama. Touche!
Sekali lagi, maafkan keterlambatan untuk post ini. Check juga post Hestia di sini! Film minggu ini mungkin tak meledak-ledak, namun akan sukses membuat perasaan tak nyaman yang luar biasa (perasaan ngilu lebih tepatnya). Minggu depan kita akan berurusan dengan Ti West, so expect the worst. Happy early Halloween!
Leave a Reply